Selasa, 23 September 2014

EVALUASI PEMILUKADA LANGSUNG MELALUI PENDEKATAN SYSTEM THINKING

EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMILUKADA LANGSUNG
 MELALUI PENDEKATAN SYSTEM THINKING

 Oleh: Denden Deni Hendri

 Abstrak Salah satu perkembangan demokrasi yang membanggakan di Indonesia adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Mepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Semenjak lahirnya Undang Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008, Indonesia telah mempertahankan sistem pemilukada langsung selama kurang lebih 10 tahun, selama itu pula sistem ini telah diuji melalui praktik demokrasi konstitusionalnya, apakah pemilukada langsung menghasilkan efektifitas pemerintahan daerah? atau justru sebaliknya, menghasilkan inefektifitas pemerintahan daerah, pemborosan anggaran, konflik horizontal, tumbuhnya money politic dan budaya transaksional di masyarakat serta kejenuhan politik akibat seringnya penyelenggaraan pemilukada dan dampak-dampak lainnya. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai co-legislation telah melakukan evaluasi atas penyelenggaraan Pemilukada secara langsung dan mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilukada yang isinya mengembalikan Pemilukada kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti terjadi pada zaman orde baru dan orde lama. Makalah singkat ini disusun sebagai suatu alternatif baru dalam melakukan analisis dan evaluasi penyelenggaraan Pemilukada dengan menggunakan pendekatan System Thingking.

 A. PENDAHULUAN 
Menurut pembukaan (preambule) Undang Undang Dasar 1945 pada alinea 4 (empat), negara kita menganut sistem kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum sebagaimana berbunyi ” maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ”. Kemudian pasal satu ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa ” kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar ”. Bedasarkan teks tersebut, konstitusi kita sebenarnya telah sejak dulu memperkenalkan konsep kedaulatan. Yang pertama adalah kedaulatan rakyat, rakyat adalah pemegang kekuasaan dan puncak tertinggi dari kekuasaan, perwujudan kedaulatan rakyat yang paling paripurna adalah keikutsertaan atau partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilukada. Dalam konteks kebijakan publik, keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu merupakan contoh model kebijakan publik yang bersifat partisifatif dan paling ideal, rakyat ditempatkan tidak hanya sebagai objek kebijakan namun juga sebagai subjek kebijakan publik yang menentukan langsung pemimpin di tengah tengah mereka. Menurut John Locke (1965) dan Jean Jacques Rousseau (1962) mekanisme seperti ini disebut sebagai teori kontrak sosial yaitu rakyat sendiri secara otonom, bebas dan mandiri yang melakukan perjanjian atau kontrak sosial dengan pemimpinnya melalui pemilu dan pemilukada. Inilah hakikat demokrasi konstitusional yang pertama yaitu terwujudnya kedaulatan rakyat dalam pemilu dan pemilukada. Yang kedua adalah kedaulatan hukum, kekuasaan ada ditangan hukum melalui produk produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Menurut Janedri M Gaffar (2012) kekuasaan tertinggi setelah amandemen UUD 1945 tidak berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tetapi berada di tangan konstitusi, konstitusi kita salah satunya menganut teori trias politikanya Montesque (1993) tentang pembagiaan kekuasaan (divison of power) yaitu membagi kekuasaan kepada eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan untuk membuat undang undang, melaksanakan undang undang dan kekuasaan untuk mengawasi pelanggaran terhadap undang undang. Dengan demikian kedaulatan melekat pada lembaga lembaga tersebut di atas. Dalam konteks penyelengaraan pemilukada menurut kontruksi demokrasi konstitusional, setelah terpilihnya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota/Kab. mengeluarkan kebijakan publik atas penetapan rekapitulasi perolehan suara yang merupakan perwujudan nyata kedaulatan rakyat dan kontrak sosial rakyat dan pemimpinya, kemudian diuji kembali kebenaran dan keabsahanya di lembaga yudikatif yang diberi kewenangan kosntitusi untuk memutus sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yaitu Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut adalah putusan di tingkat pertama dan tingkat terakhir (inrach) yang merupakan perwujudan kedaulatan hukum. Inilah hakikat kedua demokrasi konstitusional yaitu kedaulatan rakyat juga selaras dengan kedaulatan hukum. Praktik demokrasi konstitusional melalui penyelengaraan pemilukada oleh KPU Kota/Kab dan penyelesaian sengketa di mahkamah melalui dua tahap kedaulatan yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, menurut Saldi Isra (dalam Gaffar : 2012) titik temu keduanya merupakan pemaknaan baru terhadap konsep demokrasi konstitusional di Indonesia. Dengan kata lain menurut penulis, demokrasi konstitusional telah mememukan jati diri dan otentisitasnya dalam tataran praktik penyelengaraan pemilukada dan penyelesaian sengketa pemilu. Karena memenuhi dua unsur kedaulatan sebagaimana termaktub dalam konstitusi kita. Namun di tengah menguatnya sistem demokrasi konstitusional melalui praktik pemilukada langsung, baru baru ini muncul wacana untuk mengembalikan pemilukada kepada DPRD, karena pemilukada langsung sebagaimana pernah disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dinilai telah membawa banyak kemudharatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadinya inefektifitas pemerintahan daerah, pemborosan anggaran, konflik horizontal, tumbuhnya budaya money politic dan politik transaksional di masyarakat, terjadinya kejenuhan politik karena seringnya pemilu, tumbuh suburnya korupsi di pemerintahan daerah yang pada akhirnya mengakibatkan pembangunan daerah yang terbengkalai, terutama pada penyediaan infrastruktur, sektor pelayanan publik, pengentasan kemiskinan, penciptaan ekonomi daerah yang mapan melalui peningkatan daya beli masyarakat, perluasan produksi, penciptaan komoditi unggulan daerah, pengendalian harga bahan pokok dan inflasi daerah serta menghambat proses industrialisasi daerah.

 B. STORY LINE, VARIABEL DAN CAUSAL LOOP DIAGRAM (CLD)

 Permasalahan tersebut di atas telah menjadi permasalahan dan agenda publik yang perlu dipecahkan segera melalui pendekatan baru. Munculnya permasalahan- permasalahan publik tidak bisa diselesaikan dengan cara dan solusi yang sama dengan satu pendekatan lama menggunakan metode analitik yang membagi permasalahan ke dalam bagian bagian kecil untuk dipelajari dalam keadaan ”terisolasi”, kemudian menyatukan kembali bagian-bagian tersebut bersama sama sebagai sebuah gambaran dan kesimpulan. Berbeda dengan metode analitik, pendekatan system thinking memusatkan perhatian pada bagaimana sesuatu yang dikaji berinteraksi dengan bagian bagian lainnya dalam suatu sistem. System thingking bekerja dengan mengembangkan cara pandang untuk menjelaskan sejumlah interaksi yang lebih besar dari permasalah publik yang muncul (Wirjatmi:2008) dan (Senge:2002). Dalam konteks pemilukada langsung yang memiliki permasalahan kompleks dan dinamis, system thingking dinilai lebih tepat sebagai pendekatan baru untuk mengevaluasi penyelenggaraan pemilukada. Menurut pendekatan system thingking, pemilukada langsung bukanlah peristiwa linear yang statis dan stagnan, melainkan peristiwa yang kompleks, organis dan dinamis karena menyangkut berbagai hal (variabel) yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kualitas penyelenggaraan pemilukada. Dalam sudut pandang penyelenggara pemilu, keberhasilan dan kualitas suatu penyelenggaraan pemilukada dapat diukur melalui beberapa aspek yaitu : 1. Aspek anggaran Pemilukada yang berkualitas adalah pemilukada yang memenuhi kriteria standar pengelolaan keuangan dan anggaran, yaitu efisien, ekonomis dan akuntabel. Banyak pihak menilai anggaran pemilukada sangat mahal dan boros, namun dalam perspektif penyelenggara, anggaran tersebut sangatlah minim, karena anggaran tersebut sebenarnya telah terkunci dan baku sesuai dengan lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri (permendagri) Nomor 44 Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan permendagri Nomor 57 Tahun 2009, anggaran kemudian didistribusikan ke seluruh pihak terkait dan kepanitiaan ad hoc pemilukada, sehingga apabila satu mata akun (item) anggaran mengalami kebocoran, maka akan menghambat seluruh tahapan penyelenggaraan pemilukada dan berpotensi menggagalkan penyelenggaraan pemilukada. Nominal total anggaran memang sangatlah besar, namun setelah di-breakdown menjadi dana bawahan, nominalnya menjadi kecil, apalagi kalau anggaran tersebut diurai menjadi biaya variabel (variable cost) maka nilai nominalnya secara individual lebih kecil. Persoalan terbesar dalam pemilukada adalah dukungan anggaran dari pemerintahan daerah, anggaran pemilukada berdasarkan Undang Undang adalah dari APBD, pemda yang kinerja pembangunannya baik, akan dengan mudah mengalokasikan dan memfasilitasi anggaran pemilukada kepada penyelengara pemilu melalui Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), bahkan memfasilitasi gedung kantor KPU Kota/Kab dan gudang logistiknya karena KPU Kota/Kab sebagian besar belum memiliki gedung kantor dan gudang logistik yang representatif, namun pemda pada umumnya kinerja pembangunannya sangat buruk sehingga melalaikan kewajiban pengalokasian dan fasilitasi dana hibah pemilukada, apalagi memberikan fasilitas gedung kantor maupun gudang logistik, kondisi dasar tersebut sangat mempengaruhi kapasitas penyelenggara dalam menghasilkan kinerja teknis yang baik. 2. Aspek manajemen dan teknis Pemilukada yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh dukungan manajemen teknis kegiatan, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota/Kab yang telah dibentuk oleh panitia seleksi yang independen dan profesional, kemudian didukung secara teknis oleh sekretariat KPU Kota/Kab. dari unsur PNS dengan membentuk berbagai kelompok kerja (pokja) teknis pemilukada, pokja yang dimaksud setidaknya terdiri dari : a) Kelompok kerja regulasi b) Kelompok kerja logistik c) Kelompok kerja pemutakhiran data d) Kelompok kerja pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau panitia ad hoc e) Kelompok kerja bimbingan teknis f) Kelompok kerja pencalonan g) Kelompok kerja sosialisasi h) Kelompok kerja kampanye i) Kelompok kerja pemungutan suara j) Kelompok kerja rekapitulasi perolehan suara k) Kelompok kerja Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) l) Kelompok kerja pengawasan m) Kelompok kerja keuangan dan anggaran Kelompok kerja inilah yang kemudian ikut serta menentukan secara teknis pemilukada berjalan dengan efektif sesuai tahapan, apabila pokja menegakan good governance dalam dukungan teknisnya, niscaya persoalan-persoalan yang muncul menjadi terminimalisir, terutama persoalan inakurasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari pemilu ke pemilu. Persoalan DPT telah membuat masyarakat menjadi jenuh, skeptis dan apatis terhadap pemilukada sehingga tingkat partisipasi pemilih dalam kurun waktu 10 tahun dalam pemilukada trend nya semakin menurun. Penggunaaan teknologi informasi akan membantu meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja penyelenggara, perwujudan penggunaan teknologi informasi tersebut adalah dengan dibentuknya berbagai sistem informasi pada kelompok kerja sebagaimana telah berjalan sejauh ini, yaitu ; - Sistem Informasi Akuntansi (SIA) - Sistem Informasi Logistik (Silog) - Sistem Informasi Pencalonan Perseorangan (Silon) - Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) - Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) - Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng) Penggunaan teknologi informasi yang belum dilakukan adalah pada proses pemungutan suara, proses pemungutan suara di berbagai daerah di Indonesia diselenggarakan secara manual tidak dilakukan secara electronic voting sebagai mana dilakukan di luar negeri. Hal ini disebabkan karena belum adanya payung hukum atas penyelenggaraan e-voting dan belum adanya kesiapan infrastruktur dan kesiapan masyarakat untuk menerima teknologi informasi, cara serta proses teknis yang baru. 3. Aspek hukum dan etika Pada awal penyelenggaraan sebuah pemilukada, penyelenggara melakukan penyusunan regulasi (legal drafting) sebagai payung hukum apabila dikemudian hari terjadi kewajiban hukum kepada penyelenggara (legal liabilities) dan sebagai pedoman hukum (guidance) yang memberikan kepastian teknis dalam penyelengaraan pemilukada. Kegiatan legal drafting ini terkadang disepelekan oleh sebagian penyelenggara karena kegiatannya agak membosankan berupa peyusunan teks teks peraturan hukum, sehingga mereka mengalami persoalan serius di muka pengadilan dan mahkamah karena kebijakan publik yang dihasilkan tidak berdasar hukum yang jelas. Kelemahan aspek hukum ini sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas gugatan pemilu, penyelenggara yang lemah dalam hal penyusunan regulasi seperti tidak memiliki perlindungan hukum yang kuat di pengadilan dan di mahkamah baik persoalan gugatan hukum maupun persoalan gugatan etika penyelenggaraan. 4. Aspek politik Kelemahan pada aspek hukum seringkali dimanfaatkan oleh elit lokal yang terdiri dari para fungsionaris partai politik, incumbent dan tokoh politik lokal lainnya untuk menggiring ke arah persoalan politik, elit lokal inilah yang berperan dalam pengerahan massa, aksi unjuk rasa untuk mendukung kepentingan politiknya dengan cara melakukan tekanan politik kepada KPU Kota/Kab. secara kelembagaan maupun secara personal. Gejolak politik yang terjadi selalu dikhawatirkan berpotensi mengundang konflik sosial berupa anarkisme dan konflik horizontal antar kelompok massa, sehingga tekanan politik ini terkadang berhasil mempengaruhi kebijakan publik KPU Kota/Kab, kepolisian dan KPU Kota/kab akan lebih memilih menerima tekanan politik dari elit lokal dari pada mempertahankan kebijakan publik yang akan mengganggu stabilitas politik daerah. Namun bagi penyelenggara yang memiliki kepekaan hukum, mereka meluangkan fokus di awal tahapan pemilukada untuk melakukan legal drafting dan menggiring tekanan politik yang terjadi pada saaat tahapan untuk disalurkan dan dijinakkan melalui pendekatan hukum pengadilan, dewan kehormatan maupun mahkamah, sehingga mereka tetap dalam posisi profesional dan independen sesuai kaidah dan prinsip pada Undang Undang Penyelengara Pemilu Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2011. 5. Aspek kualifikasi dan kualitas kepala daerah Sistem politik yang ada saat ini tidak memberikan tanggung jawab dan kewajiban kepada penyelenggara pemilu untuk menghasilkan kualifikasi kepala daerah yang profesional, kompeten dan berintegritas. Sistem politik yang kita anut justru memberikan ruang kepada elit lokal untuk masuk kepada struktur kekuasaan daerah tanpa pengujian kualifikasi terlebih dahulu. Partai politik merupakan pihak yang harus bertanggung jawab atas suksesi dan kaderisasi di internal partai sekaligus bertanggung jawab atas kualifikasi calon kepala daerah yang diususng partai politik dan atau gabungan partai politik. Partai politik cenderung melihat potensi kekayaan bakal calon kepala daerah yang nantinya akan digunakan untuk melakukan berbagai cara mempengaruhi kecenderungan pilihan masyarakat, juga digunakan untuk akomodasi, koordinasi, konsolidasi pemenangan dan yang ironi digunakan untuk praktik money politic terhadap masyarakat Masyarakat yang tingkat kesadaran politiknya rendah tidak akan memperhatikan aspek kualifikasi calon kepala daerah sebagai pertimbangan dalam memilih, yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana merasakan kebaikan calon kepala daerah yang akan dipilih, sehingga terjadilah politik transaksional. Calon kepala daerah melalui tim pemenangan yang melakukan banyak praktik money politic berpotensi besar memenangkan pemilukada. Lemahnya kesadaran politik masyarakat merupakan tanggung jawab bersama para pihak di daerah untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, penyelenggara pemilukada menjadi bagian terpenting dalam sosialisasi dan pendidikan politik pemilih, meskipun tanggung jawab utama dari penyelenggara adalah menyeleggarakan secara teknis pemilukada sesuai tahapan yang telah disusun. Dengan demikian pemilukada yang berkualitas dalam pandangan penyelenggara adalah pemilukada yang efisien dan akuntabel dari aspek anggaran, efektif dari aspek manajemen teknis, legitimate dari aspek hukum, dan menciptakan stabilitas dari aspek politik. Namun dari aspek kualifikasi kepala daerah, hasil pemilukada tidak bisa menjamin menghasilkan kepala daerah yang profesional, kompeten dan berintegritas. Sehingga tidak bisa menjamin pula terciptanya efektifitas penyelenggaraan pemerintahaan daerah dan pembangunan daerah serta praktik korupsi yang menggurita di daerah sebagai efek domino dari praktik money politic yang terjadi saat penyelenggaraan pemilukada. Menurut pendekatan system thingking, terdapat banyak variabel yang saling terkait secara kausalitas dan kompleks dalam penyelengaraan pemilukada langsung, variabel tersebut terdiri dari variabel internal dan variabel eksternal sebagai berikut : 1) Kapasitas penyelenggara 2) Kinerja teknis penyelenggara 3) Penggunaan teknologi informasi 4) Pokja regulasi teknis 5) Pokja logistik 6) Pokja pemutakhiran data 7) Pokja pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau panitia ad hoc 8) Pokja bimbingan teknis 9) Pokja pencalonan 10) Pokja sosialisasi 11) Pokja kampanye 12) Pokja pemungutan suara 13) Pokja rekapitulasi perolehan suara Kelompok kerja Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 14) Kelompok kerja pengawasan 15) Kelompok kerja keuangan dan anggaran 16) Inakurasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) 17) Daftar Penduduk Pemilih Potensial (DP4) 18) Populasi Penduduk 19) Tingkat Kelahiran 20) Tingkat Kematian 21) Tingkat migrasi 22) Animo masyarakat 23) Tingkat partisipasi pemilih 24) Praktik money politic 25) Kinerja teknis 26) Tekanan partai politik 27) Tekanan elit lokal 28) Tekanan elit nasional 29) Kualifikasi calon kepala daerah 30) Tingkat pelanggaran pemilu 31) Validitas perolehan suara 32) Efisiensi anggaran 33) Tingkat gugatan hukum 34) Putusan peradilan 35) Tekanan LSM 36) Kualitas pemilukada 37) Kualifikasi kepala daerah terpilih 38) Efektifitas pemerintahan daerah 39) Kinerja pembangunan 40) Alokasi anggaran pemilu 41) Alokasi sarana (gedung kantor) 42) Stabilitas politik 43) Praktik korupsi Apabila variabel variabel tersebut dituangkan dalam Causal Loop Diagram (CLD) secara sederhana, maka terbentuklah CLD sebagaimana Gambar 1 di bawah (CLD lengkap terlampir). Untuk memperbaiki kondisi yang kompleks ini, tidak bisa menggunakan satu pendekatan saja sebagai pengungkit (leverage) misalkan dengan menggunakan pendekatan politik dengan cara merubah sistem pemilukada dengan mengembalikan pemilihan oleh DPRD, hal tersebut akan merusak konstruksi demokrasi konstitusional yang telah terbangun selama dekade terakhir ini. Bila kita urai dengan pendekatan system thinking, solusi yang paling efektif adalah dengan mempertahankan sistem dan memperbaikinya dengan menggunakan berbagai aspek pendekatan untuk mengungkit kualitas penyelenggaraan pemilukada, diantaranya adalah dengan berbagai tindakan pegungkit (leverage) beberapa variabel yang mempengaruhi kualitas pemilukada secara langsung maupun tidak langsung seperti di bawah ini : - Variabel sosialisasi dengan melakukan pendidikan politik secara intensif kepada masyarakat, - Variabel kapasitas penyelenggara, dengan peningkatan kapasitas penyelenggara melalui dukungan anggaran dan pemenuhan kebutuhan gedung kantor dan gudang logistik, - Variabel regulasi teknis dengan melakukan penyempurnaan regulasi teknis pemilukada, - Variabel kualifikasi calon kepela daerah, dengan mengagas pengaturan pencalonan dan kualifikasi calon kepala daerah dalam UU, - Variabel partai politik, dengan menggagas UU keuangan partai politik, - Variabel money politic, dengan mengatur ketentuan money politic dalam UU, - Variabel putusan peradilan, dengan menata sistem penyelesaian sengketa pemilukada secara satu atap, - Variabel teknologi informasi, dengan mendorong penyelengaraan pemungutan suara melalui electronic voting Peningkatan kapasitas penyelenggara akan menambah kualitas kinerja teknis, kemampuan melaksanakan pendidikan politik dan kemampuan menyusun regulasi pemilukada yang andal (realible) serta penggunaan teknologi informasi. Bertambahnya kualitas kinerja teknis pada berbagai kelompok kerja, akan membentuk struktur penyelengaraan yang kuat dan cukup resisten terhadap berbagai tekanan politik dari lingkungan. Praktik good governance dalam kinerja penyelenggara juga dapat membentengi dari praktik money politic yang dilancarkan oleh bakal calon, partai politik maupun elit lokal. Pendidikan politik pada sisi yang lain dapat menambah kesadaran politik masyarakat dan mengurangi praktik money politic tersebut serta meningkatkan tingkat partisipasi pemilih dalam pemilukada. Sementara regulasi yang kuat dapat menjaga integritas penyelenggara serta mengurangi dikabulkanya gugatan sengketa pemilukada baik dalam ruang lingkup pidana, etika, maupun administrasi di kepolisian, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) maupun Mahkamah Konstitusi (MK). Gambar 1. CLD sederhana : kualitas pemilukada langsung. Gambar 2. CLD detail : kualitas pemilukada langsung Sebagaimana ditunjukan dalam Gambar 2. Causal Loop Diagram (CLD) tentang kualitas pemilukada langsung di atas, menurunnya tingkat pelanggaran pemilu, meningkatnya akurasi DPT, validnya perolehan suara, meningkatnya kualifikasi calon kepala daerah, terjadinya efisiensi penggunaan anggaran serta terciptanya stabilitas politik dan keamanan merupakan variabel output sistem yang sekaligus menjadi indikator peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilukada. Namun peningkatan kualitas ini tidak diimbangi dengan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini disebabkan salah satunya karena bakal calon kepala daerah adalah variabel eksternal sistem yang ikut masuk ke dalam sistem penyelengaraan pemilukada langsung dan kualifikasinya sulit diuji dan dipengaruhi sistem yang ada, bahkan lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan dan tekanan politik di tingkat elit lokal, partai politik dan elit di tingkat nasional, di samping itu penyebab lainya adalah praktik korupsi yang terjadi pada pemerintahan daerah sebagai efek domino dari praktik money politic elit dan partai pada saat penyelengaraan pemilukada. Oleh sebab itu selama sistem politik tidak dirubah secara mendasar melalui undang undang, maka variabel kunci yang menjadi leverage kualitas pemilukada langsung seperti kualifikasi kepala daerah terpilih tidak akan sesuai harapan publik dan relevansi pembangunan daerah. 

 C. PENUTUP DAN KESIMPULAN 
 Dari hasil elaborasi singkat di atas berkenaan dengan evaluasi penyelenggaraan pemilukada melalui pendekatan system thinking, wacana untuk mengembalikan pemilukada kepada DPRD tidaklah tepat, karena akan merusak fondasi demokrasi konstitusional yang terbangun, sedangkan konstitusi kita menganut dua konsep kedaulatan yaitu kedaulatan rakyat yang direpresentasikan oleh pemilukada langsung dan kedaulatan hukum yang direpresentasikan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut teori sistem, menggagalkan sebuah sistem yang ada dari pada memperbaikinya melalui berbagai pengungkit (leverage) adalah pilihan yang tidak rasional, tidak ilmiah dan tidak normatif. Pemilukada melalui DPRD tidak akan berhasil memutus praktik money politic dan praktik korupsi, namun hanya akan mengalihkan spektrumnya menjadi lebih kecil dan mengorbankan pencapaian pencapaian pembangunan non material selama ini yaitu kebebasan kehendak dan memilih, kebijakan publik partisipatif, budaya kontrak sosial antara masyarakat dan pemimpinnya serta praktik demokrasi kontitusional. DAFTAR PUSTAKA Budiman, Arief, 1995; Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Dunn, N. William; 1999; Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Gaffar, M. Janedjri, 2012; Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta Gaffar, M. Janedjri, 2012; Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta Gaffar, M. Janedjri, 2012; Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta Mahfud, MD. Mohamad, 2012; Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta Mariana, Dede, 2008; Dinamika Demokrasi dan Perpolitikan Lokal di Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Bandung Senge, Peter, 2002; The Fifth Discipline Fieldbook, Interaksara, Batam Sumarno, 2006; Drama Politik Pilkada Depok, Harakatuna Publishing, Bandung Syarwi, Pangi, 2012; Titik Balik Demokrasi Petunjuk bagi Para Pejuang Demokrasi, Pustaka Inteligensia, Jakarta Trilestari, W. Endang, 2008; System Thingking Suatu Pendekatan Pemecahan Permasalahan yang Kompleks dan Dinamis, STIA LAN Bandung Press, Bandung

Sabtu, 31 Maret 2012

REKENING KEPERCAYAAN DAN GOODWILL

Salah satu aset berharga pemimpin adalah nama baik, citra, popularitas, kredibelitas, integritas dan atau dinamakan legitimasi publik. Sayangnya jenis aset tersebut di atas tidak bisa dikuantifikasi secara matematis sehingga sulit memperlakukan dan menyajikannya dalam neraca politik seseorang.

Salah satu pendekatan yang memungkinkan adalah memperlakukan nama baik, citra, kredibelitas, integritas dan atau legitimasi public sebagai goodwill. Goodwill adalah aset tetap tidak berwujud (intangible assets) yang tidak bisa diidentifikasi namun bisa dikuantifikasi jumlahnya.

Dalam kacamata akuntansi setiap asset tetap pasti mengalami penyusutan (amortisasi), begitupun goodwill seseorang pasti mengalami amortisasi. Menurut hukum penyusutan ini, goodwill seseorang mengalami masa manfaat politik yang terbatas dan diamortisasi selama masa manfaat politiknya. Sehingga seiring berjalannya waktu dan sejarah goodwill tersebut akan berkurang dan lama kelamaan akan habis.

Bagi pemimpin yang membangun goodwillnya dengan cara cara yang tidak baik, tidak cerdas dan tidak kreatif misalkan dengan mengandalkan politik pencitraan atau rekayasa sosial yang machiavelistik, maka hal tersebut sama sekali tidak menambah rekening goodwill melainkan menguranginya. Bahkan sesungguhnya goodwill mereka sewaktu waktu akan mengalami apa yang disebut sebagai rush, sebuah kondisi saat rakyat menarik kembali rekening kepercayaanya secara besar besaran sehingga goodwill pemimpinya nihil, berubah jadi badwill, karir politiknya habis, rezimnya berakhir.

Penarikan rekening goodwill secara besar besaran (rush) terjadi saat pemimpin dianggap menghianati rakyat sebagai pemegang kuasa (mandat) pemberi rekening kepercayaan karena kebijakannya yang tidak populis dan menyengsarakan rakyat. Rush ini tidak hanya menimbulkan kerugian politik bagi pemimpin tersebut namun juga bisa memicu krisis politik yang sistemik, massif dan tidak terstruktur.

          Namun bagi pemimpin yang membangun goodwillnya dengan cara cara yang baik, benar, mencintai rakyat dengan amal, dan kerja kerja yang nyata, cerdas dan kreatif sesuai amanat konstitusi, meskipun terkena hukum penyusutan namun rekening goodwillnya justru semakin hari semakin bertambah.
           Saat rakyat merasakan manfaat dari kinerja pemimpinnya maka dengan sendirinya rakyat ikut menabung rekening kepercayaan, sehingga secara akrual rekening tersebut tumbuh dan terkonversi menjadi goodwill, dan goodwill sang pemimpin pun terus menerus terkapitalisasi jumlahnya sehingga neraca politiknya semakin hari semakin sehat, membaik dan menghasilkan laba.

            Bahkan di kemudian hari apabila sang emimpin konsisten memelihara (maintenance) rekening goodwillnya dengan kinerja yang baik maka akan menimbulkan laba yang besar. Sehingga rakyatpun sebagai pemegang saham mayoritas (controlling interest) atas rekening kepercayaanya tersebut merasakan nikmat pembagian deviden keadilan, pemerataan, pertumbuhan, kesejkahteraan dan kemakmuran yang melimpah ruah.
Wallahu’alam 

Jumat, 30 Maret 2012

RELEVANSI PEMIKIRAN MARX TENTANG PERJUANGAN KELAS TERHADAP KONSEPSI HUBUNGAN INDUSTRIAL MODERN

“  Sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas. Kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, kepala serikat kerja dan para tukang, dengan kata lain, penekan dan yang ditekan, berada pada posisi yang selalu bertentangan satu sama lainnya, dan berlangsung tanpa terputus
(Karl Marx)



PENDAHULUAN
Untuk memahami relevansi pemikiran Marx tentang perjuangan kelas terhadap konsepsi hubungan industrial modern maka terlebih dahulu kita harus memahami realitas sosial hubungan industrial. Cara efektif memahami realitas sosial hubungan industrial adalah dengan memotret persoalan persoalanya. Realitas hubungan industrial saat ini masih menyisakan berbagai persoalan ketenagakerjaan diantaranya sebagai berikut adalah :
1.      Outsourcing / PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu)
Konsep outsourching menurut Charles Handy direkomendasikan untuk pekerjaan pekerjaan yang tidak esensial atau memerlukan spesialisasi khusus, namun seiring dengan perkembangan industri dan operasi perusahaan penggunaan outshourching menjadi semacam tren global industri. Outshourching dianggap sebagian besar perusahaan sebagai salah satu cara yang paling efektif, efisien dan kreatif dalam kebijakan ketenagakerjaan.
Sewaktu waktu sesuai Undang Undang pemberi kerja dapat melakukan pemutusan kerja dengan para pekerja terutama apabila pekerjaan yang diperjanjikan telah selesai masa kontraknya atau telah terjadi kebijakan pemutusan jumlah pegawai karena membebani biaya tetap perusahaan. Alasan yang kedua sangatlah merugikan sisi pekerja sebagai salah satu entitas yang berpengaruh dalam struktur industri. Di sinilah salah satu akar persoalan outsourcing, pekerja tidak mendapatkan jaminan dan kepastian hukum dari pemberi kerja, pekerja berada dalam wilayah ketidakpastian.
2.      Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja
Besarnya pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta penggantian pengobatan dan perumahan dirasakan oleh pengusaha sangat memberatkan. Undang Undang No. 13 Tahun 2003 kurang memberi fleksibilitas untuk mengubahnya karena harus melalui Peraturan Presiden. Dengan kata lain di samping persoalan yang merugikan pekerja (buruh) di satu sisi terdapat pula persoalan yang berpotensi merugikan pengusaha.
3.      Uang Pisah Kerja
Undang Undang No. 13 Tahun 2003 memberi arahan agar Uang Pisah Kerja dibicarakn antara pengusaha dan serikat pekerja, namun sejak berlakunya KEP-MEN Nomor 150 Tahun 2000 mengenai uang pisah, telah ditetapkan sebagai sesuatu yang harus diberikan pengusaha kepada pekerja yang bermasa kerja 3 tahun atau lebih walaupun pekerja melakukan kesalahan. Sejak itu para pekerja menganggap itu sebagai suatu hak.
4.      Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai pelaksanaan pasal 136 dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 maka peran tripartit di dalam lembaga penyelesaiaan perburuhan yang mengutamakan  musyawarah untuk mufakat telah berubah menjadi sistem peradilan. Dalam pelaksanaannya ternyata tidak semulus yang diharapkan baik waktu penyelesaiaan, biaya biaya yang diperlukan serta kesiapan para pihak yang berselisih.
5.      Masalah Serikat Buruh
Lahirnya Undang Undang Nomor 2 Tahun 2000 telah mengakibatkan bertambahnya jumlah serikat buruh. Data tentang serikat buruh terdiri dari:
·         91 serikat pekerja / serikat buruh
·         3 konfederasi (KSPSI, KSBSI, KSPI)
·         146 Serikat pekerja Tingkat Nasional
Keadaan diatas dan  dengan terfragmentasinya perjuangan buruh ke dalam kelompok kelompok berbeda secara tidak langsung ikut serta mempersulit posisi buruh dalam Tripartit
6.      Masalah Pengupahan
Dengan penetapan upah minimum regional, sektoral yang diberlakukan setiap tahun mengakibatkan pengusaha kesulitan dalam menetapkan besaran upah menjelang atau sesudah terjadi gejolak di dalam dunia usaha.
7.      Lapangan Kerja
Di bawah ini adalah tabel lapangan kerja sepanjang tujuh tahun yang berhasil direkapitulasi
Tahun
Orang
2000
5.813.000
2001
8.005.000
2002
9.132.000
2003
9.531.000
2004
10.251.000
2005
10.854.254
2006
11.104.693
2007
10.547.917

Persoalan persoalan tersebut di atas adalah persoalan yang realistis dan kekinian dalam hubungan industrial modern. Secara garis besar persoalan tersebut belum final dan dalam proses konsolidasi antara entitas entitas yang ada dalam hubungan industrial ke arah bentuk, identitas dan karakter hubungan industrial modern.

PEMIKIRAN MARX TENTANG PERJUANGAN KELAS
Dalam bukunya Manifesto of Communist Party bersama Frederich Angels, Karl Marx memperkenalkan sebuah teori perjuangan kelas. Teori yang menyatakan bahwa struktur masyarakat sosial dalam berbagai zaman dan sejarah selalu terpolarisasi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan yaitu kelas pekerja atau golongan proletariat dan kelas bangsawan atau golongan borjuis. Kedua kelas tersebut saling mempengaruhi secara dialektis. Dan menurut Marx kelas pekerja memiliki keharusan untuk berjuang mengubah keadaan dan merebut kekuasaan melalui tindakan perjuangan  revolusioner demi mengubah struktur sosial masyarakat.
Kelas proletar merupakan kelas yang ditekan dan dieksploitasi oleh kelas borjuis karena kelas proletar tidak menguasai faktor faktor produksi, tidak memiliki akses kekuasaan dan memiliki posisi politik yang lemah dalam hubungan industrial. Berbeda dengan kelas borjuis yang  menguasai modal dan faktor faktor produksi dan secara politik berada dalam posisi puncak kekuasaan. Revolusi industri telah menyuburkan praktek praktek eksploitasi buruh, kelas buruh telah menjadi batu bata dan skrup dari bangunan industri para pemilik modal. Kondisi ini semakin menguatkan teori Marx dan membakar semangat buruh di berbagai belahan dunia saat itu untuk berjuang melakukan protes secara revolusioner. Revolusi Bolswevik adalah contoh konkret revolusi yang digerakan oleh semangat dan teori perjuangan kelas. Namun sayang ternyata revolusi yang digerakan oleh Lenin ini malah membuka kediktatoran dan kekuasaan despotis yang baru.
Cita cita perjuangan kelas pada dekade itu telah membuktikan secara historis bahwa teori perjuangan kelas ini adalah teori yang sangat utopis untuk diterapkan secara kompatibel ke dalam berbagai konteks sosial politik. Cita cita masyarakat tanpa kelas (classless society) yang menjadi ujung perjuangan Marx telah kandas ditelan sejarah sebelum membuktikan relevansinya dalam hubungan industrial modern.
Dengan demikian teori perjuangan kelas ini memiliki banyak kelemahan dalam basis rasionalitas, empiris serta sosio historisnya. Namun tetap saja memiliki daya pikat tersendiri bagi kalangan ilmuwan sosial ekonomi. Apabila dikaji lebih dalam keterpikatan mereka sebagian besar disebabkan karena sesungguhnya teori perjuangan kelas ini memunculkan semangat fanatisme dan radikalisme yang merupakan bagian integral dalam watak dasar manusia sosial yang menurut Herbert Spencer disebut dengan naluri dasar bertahan hidup.

KONSEP HUBUNGAN INDUSTRIAL MODERN
Konsep hubungan industrial modern didasarkan pada konsep kesalingtergantungan (interdependen) antar entitas dalam industri. Menurut Dunlop sistem hubungan industrial yang interdependen memiliki tiga entitas (aktor) utama yaitu entitas buruh, para manajer dan organisasi perwakilan mereka, bersama-sama dengan badan pemerintah tertentu, semuanya saling berinteraksi untuk menciptakan jaringan ketentuan yang mengatur hubungan mereka di tempat kerja, ketentuan mana merupakan keluaran dari sistem itu sendiri.
Terdapat tiga aktor dari hubungan industrial yaitu:
1. Buruh  
2. Manajemen  
3. Lembaga Pemerintah
Interaksi dari ketiga aktor tersebut di atas melahirkan the rules of workplace (aturan di tempat kerja)












Buruh
 










Manajemen
 


Lem. Pemerintah
 

 



The rules of workplace

Ketiga aktor hubungan industrial melakukan interaksi dengan didasari oleh ideologi. Adanya kesamaan ideologi dari ketiga aktor sangat menentukan berhasil atau tidaknya hubungan industrial.
Sistem hubungan industrial Dunlop didasarkan pada suatu ideologi atau seperangkat pikiran dan keyakinan yang disepakati bersama. Dia kukuh berpendapat bahwa ideologi sistem hubungan industrial merupakan suatu jalinan sejumlah pikiran bersama yang menetapkan pikiran dari masing masing pelaku tentang tempat kerja dan fungsi pelaku lain dalam sistem itu.
Dunlop mengakui bahwa tiap pelaku dalam sistem mungkin saja memiliki ideologi sendiri. Namun demikian, dalam sistem hubungan industrial yang matang, tiap ideologi itu akan cukup kompatibel dan konsisten sehingga memungkinkan terjadinya seperangkat pemikiran yang mengakui adanya peranan tiap pelaku terhadap pelaku lainnya.
The rules of the workplace
Yang termasuk dalam kategori ini menurut Dunlop diantaranya adalah:
-          Labour legislation
-          Trade Union regulations
-          Collective agreement
-          Conciliation settlement
-          Abitration awards
-          Managerial decisions, social conventions
-          Accepted customs dan practices
Prespektif lain tentang hubungan Industrial menurut ahli hubungan industrial Singapore, Venkatraman Anantaraman adalah teori Unitary Perspective, yaitu teori yang memandang bahwa hubungan antara pihak manajemen dengan buruh bukan merupakan hubungan persaingan yang memiliki hubungan antagonis, akan tetapi merupakan hubungan dari suatu tim, dimana pihak manajemen menentukan kebijaksanaan dan buruh melaksanakan. Teori ini sepertinya mengabaikan keberadaan ideologi dalam hubungan industrial sebagaimana masih diakui oleh Dunlop. Serta memandang hubungan industrial secara teknokrasi dan terlepas dari unsur unsur non material. Premis ini berkembang karena melihat semakin massif dan progresifnya proses industrialisasi dan kapitalisme sehingga melihat hubungan industrial dalam hubungan simbiosis mutualisme antar aktor aktor didalamnya.
Teori lain menurut Venkatraman yang sejalan dengan teori Marx dan Dunlop adalah teori class conflict perspective. Venkatraman juga menambahkan ada yang disebut sebagai the industrial conflict perspective sebagai pengembangan dari class conflict sesudah apa yg disebutnya sebagai masyarakat paska kapitalis.
Menurut Ralf Dahrendorf terdapat tiga penyebab determinatif perubahan di masyarakat industri modern yaitu :
1. Dekomposisi modal (the decomposition of capital)
2. Dekomposisi buruh (the decomposition of labor)
3. Kelas menengah baru (the new middle class)
Dekomposisi modal dan buruh bukanlah teori yang baru dalam teori perubahan industrial namun kelas menengah baru yang disebutkan Ralf adalah entitas yang baru yang kemungkinan mewakili fenomena dari lahir dan berkembangnya kapitalisme dan industrialisasi. Kelas menengah merupakan kelas yang lahir dari kontraksi antara para pemilik modal dan buruh yang berpikiran realis dan berhasil mendapatkan keuntungan secara ekonomis dari proses industrialisasi, bisa pula dari entitas entitas luar yang juga mendapatkan manfaat ekonomis dari perseteruan panjang antara buruh dan pemilik modal misalkan entitas pihak ketiga, para pemasok dan masyarakat vendor.
Dari uraian singkat di atas, lalu bagaimana sebenarnya konsepsi hubungan industrial modern di Indonesia?. UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16, hubungan industrial didefinisikan sebagai
“ Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilainilai Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”
Melihat definisi tersebut, hubungan industrial merupakan hubungan yang didasarkan pada nilai nilai luhur untuk saling bekerjasama mempertahankan kelangsungan proses produksi yang terjadi di perusahaan. Keseimbangan antara pengusaha dan pekerja merupakan tujuan ideal yang harus dicapai agar terjadi hubungan yang harmonis antara pekerja dan pengusaha karena tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha menurut definisi tersebut adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Pengusaha tidak akan dapat menghasilkan produk barang atau jasa jika tidak didukung oleh pekerja, demikian pula sebaliknya.
 Yang paling mendasar dalam konsepsi hubungan industrial adalah kemitrasejajaran antara Buruh dan Pengusaha yang keduanya mempunyai kepentingan yang sama, yaitu bersamasama ingin meningkatkan taraf hidup dan mengembangkan perusahaan. Adapun idelogi yang mempengaruhi aktor aktor di dalamnya seharusnya bersumber dari nilai nilai luhur bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Inilah yang dimaksud hubungan industrial modern di Indonesia, hubungan yang didasari semangat yang terkandung dalam konstitusi Negara, semangat untuk hidup bersama dalam keadilan dan kemakmuran. Serta semangat memajukan hubungan industrial dalam iklim kebersamaan, cinta kasih, gotong royong dalam suasana yang demokratis.

RELEVANSI PEMIKIRAN MARX TENTANG PERJUANGAN KELAS TERHADAP KONSEP HUBUNGAN INDUSTRIAL MODERN
Dari uraian singkat di atas sekali lagi nampak bahwa terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara konsep pemikiran Marx tentang perjuangan kelas dengan realitas sosial hubungan industrial modern yang telah banyak dipengaruhi proses perkembangan demokrasi kontemporer. Dengan kata lain pemikiran Marx secara keseluruhan sangat utopis dan tidak relevan, masyarakat tanpa kelas yang dicita citakan (classless society) sangatlah tidak mungkin tumbuh di Indonesia karena bertentangan dengan karakter dasar bangsa Indonesia yang beragam. Serta telah mengabaikan suatu perkembangan luhur dalam sejarah umat manusia yaitu tumbuhnya iklim demokrasi kontemporer di negara negara berkembang termasuk Indonesia (demokrasi pancasila).
Namun demikian tidak bisa dipungkiri terdapat konsep Marx yang masih relevan dalam hubungan industrial modern yaitu konsep yang menyatakan bahwa entitas buruh harus berjuang mempertahankan haknya dari eksploitasi industrialisasi modern. Premis Marx  ini menyatakan tentang hak hidup, hak mengejar kebahagiaan serta hak berserikat dan berkumpul yang dijamin konstitusi, hak untuk berjuang meningkatkan taraf hidup dalam kancah demokrasi konstitusional. Sebuah model demokrasi yang bersumber dari Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.


Kamis, 29 Maret 2012

TEORI TSUNAMI POLITIK

Teori tsunami politik menyatakan bahwa proses perubahan sosial tidak ditentukan secara determinatif oleh entitas politik tertentu, baik lembaga lembaga sosial politik, elit dan partai politik atau massa (kelas, ummat dll). Teori ini merupakan pengembangan dari teori Marx (1818-1883) tentang perjuangan kelas dan filsafat Hegel tentang kehadiran tesis dan antitesis,. Namun sepenuhnya berbeda dan mendasarkan pada premis bahwa perubahan sosial tertentu bukan hanya hasil interaksi secara antagonis  antara tesis dan antitesis pada dua kutub ekstrim sebagaimana Marx ungkapkan,  melainkan merupakan hasil kontraksi sosial (tarik menarik) diantara berbagai entitas politik di dalam struktur politik tertentu.

Premis ini menolak entitas politik terfragmentasi ke dalam dua kutub yang berlawanan melainkan melihat bahwa perjuangan kelas bukanlah metode untuk melakukan perubahan sosial, melainkan metode yang hanya memperkuat kontraksi sosial antar entitas politik. Dengan demikian wacana, aksi dan agenda politik tidak hanya ditentukan secara determinatif oleh partai dan elit saja melainkan ditentukan pula oleh massa (ummat) dan hasil kontraksi di dalamnya. Kontraksi sosial tersebut kemudian secara akrual melahirkan tenaga politik yang tersimpan, terendap, berakumulasi dan sewaktu waktu bisa menimbulkan ledakan politik tertentu, sebut saja ledakannya sebagai tsunami politik.

Dari teori singkat yang perlu diuji kembali secara ilmiah diatas, sesungguhnya wacana dan aksi penolakan kenaikan harga BBM merupakan bentuk kontraksi sosial antar entitas politik yang lahir dan dipicu oleh akumulasi kekecewaan dan ketidakadilan yang tersimpan selama ini. Bukan muncul secara tiba tiba dan ditunggangi oleh partai, elit atau entitas politik tertentu. Oleh karena itu ujung dari aksi perjuangan penolakan kenaikan harga BBM ini tidak ditentukan sepenuhnya di parlemen, tidak pula ditentukan oleh pemerintah dan tidak hanya oleh massa aksi, melainkan ditentukan oleh seberapa besar perjuangan (kontraksi) masing masing entitas politik di dalamnya. Perjuangan tersebut menyumbang dan menyimpan tenaga politik yang besar dan sewaktu waktu mampu menimbulkan tsunami politik.

Minggu, 24 April 2011

TUGAS STUDI KELAYAKAN BISNIS


Soal
Tn. Hidayat merencanakan untuk mengembangkan usahanya dengan cara mendirikan pabrik baru, ada dua alternatif lokasi, yaitu Sukabumi dan Cianjur. Data hasil penelitian adalah sebagai berikut :
( untuk kegiatan operasi 1.000.000 unit )

Sukabumi
Bahan mentah = 950 juta
Tenaga kerja langsung = 700 juta
Faktory Over Head = 1250 juta
- Variable 35 %
- Fixed 65 %
Biaya Operasi = 800 juta
- variable 55 %
- fixed 45 %

Cianjur
Bahan mentah = 850 juta
Tenaga kerja langsung = 650 juta
Faktory Over Head = 1300 juta
- variabel 25 %
- fixed 75 %
Biaya operasi = 600 juta
- variabel 60%
- fixed 40%

Data penjualan industrinya adalah sebagai berikut :
Tahun Penjualan (juta unit)
1998 2,8
1999 3,0
2000 3,15
2001 3,4
2002 3,75

Diperkirakan pabrik yang akan dibangun akan beroperasi tahun 2006 dan market share nya 15 %, lokasi manakah yang harus dipilih Tn. Hidayat dengan menggunakan analisis biaya ?

Jawaban
Menghitung ramalan penjualan tahun 2006 dengan metode tren linear
Tahun Penjualan ( y ) juta unit X xy X2
1998 2,8 -3 -8,4 9
1999 3,0 -1 -3,0 1
2000 3,15 0 0 0
2001 3,4 1 3,4 1
2002 3,75 3 11,25 9
Total 16,1 0 3,25 20

Y=a+bx
b= Zxy/x2
= 3,25/20
= 0,16
a =Zy/n
= 16,1/5
= 3,22
Y= a+bx ---------------> x= 11
= 3,22 + (0,16 ) (11)
Y(2006)= 4,98 juta unit

Rincian biaya masing masing lokasi ( untuk 4,98 juta unit
Sukabumi
Bahan mentah 950 x 4,98 = 4.731
Tenaga kerja langsung 700 x 4,98 = 3.486
Faktory Over Head 1.250 juta
- Variable 35%x 1250 x 4,98 = 2178,75
- Fixed 65 % x 1250 = 812,5
Biaya Operasi 800 juta
- variable 55%x 800 x 4.98 = 2.191,2
- fixed 45 % x 800 = 360
Total 13.759,45 juta
Market share project 15% x 13.759,45 = 2.063,92

Cianjur
Bahan mentah 850 x 4,98 = 4.233
Tenaga kerja langsung 650 x 4.98 = 3.237
Faktory Over Head 1300 juta
- Variable 25%x 1.300 x 4.98 = 1.618,5
- Fixed 75 % x 1300 = 975
Biaya Operasi 600 juta
- variable 60%x 600 x 4,98 = 1.792,8
- fixed 40 % x 600 = 240
Total 12.096,3 juta
Market share project 15%x 12.096,3 = 1.814,44

Dengan demikian berdasarkan rincian biaya tersebut diatas maka lokasi yang dipilih adalah Cianjur karena biaya lebih rendah dibanding Sukabumi.

Rabu, 13 April 2011

Konspirasi di sekitar Nabi ( bagian 3 )

Konspirasi Quraisy

Yang terakhir yang penulis ingat adalah konspirasi besar untuk membunuh Nabi Muhammad SAW yang dilakukan oleh Quraisy pada periode awal perjalanan da’wah ( periode makkiyah), konspirasi ini melatarbelakangi peristiwa penting kepindahan (hijrah) Nabi bersama sahabatnya Abu Bakar As Siddiq ke Madinah dan dimulainya periode da’wah madaniyyah. Kala itu tahun 622 M sebagian sejarawan muslim menyebutnya tahun 621 M, 13 tahun sudah nabi berda'wah secara tertutup atau sembunyi sembunyi ( sirriyah ) dan secara terbuka terang terangan ( jahriyyah ) dimulai turunnya wahyu 610 M dan perintah wahyu untuk berda'wah terbuka pada 613 M kepada orang orang yang terdekat dan kepada khalayak Arab, sampai kemudian telah banyak saat itu yang menganut Islam dari berbagai kalangan dan sebagian besar mulai hijrah ke Madinah untuk memperoleh kehidupan yang lebih kondusif setelah sebelumnya mendapat janji ( baiat ) dan perlindungan dari muslim Auws dan Khazraj di Madinah. 

Konspirasi ini lebih banyak di latar belakangi situasi sejarah saat itu yang memposisikan Nabi pada posisi sejarah yang lemah tanpa perlindungan, Beliau telah kehilangan pamannya Abu Thalib yang melindunginya dari saat saat pertama kenabian sampai Abu Thalib meninggal dunia dan di tahun yang sama sekitar 619 M yaitu tahun kesedihan ( ammul huzn ) nabi kehilangan istrinya tercinta Siti Khadijah, maka rentang waktu 619 M – 622 M adalah rentang waktu yang berat bagi Nabi, banyak dipenuhi represi ( mihnah ) berkepanjangan baik represi yang bersifat psikis maupun psikologis terhadap kaum Muslimin.

Perlindungan terakhir Nabi saat itu ada pada klan Muth'im, namun kemudian Muth'im meninggal dan Nabi tanpa perlindungan, akhirnya para pemuka Quraisy mengambil momentum ini dengan menggelar majelis tinggi militer tanpa disertai paman Nabi yang masih belum memeluk Islam ( musyrik ) Abu Lahab, dalam majelis tinggi tersebut disepakati bahwa Muhammad SAW dan agamanya adalah ancaman nyata bagi eksistensi mereka di Jazirah Arabia khususnya esistensi mereka sebagai keluarga para penjaga Ka'bah, keluarga Tuhan, terutama pula mereka khawatir apa yang harus dikatakan pada peziarah Ka'bah dari berbagai luar kota Mekah khususnya di bulan Haji bila bertemu Nabi Muhammad SAW,.

Sedangkan agama baru beliau telah menjadi perbincangan yang luas di jazirah Arabia dan pesonanya mengundang banyak jiwa untuk berhijrah kepada Islam, ditambah lagi tekanan psikis dan psikologis yang selama ini mereka lancarkan kepada orang orang Mu'min tidak membuat mereka jera dan meninggalkan agama Islam bahkan orang orang Mu'min mendapatkan harapan yang gemilang dengan terbukanya Hijrah yang kedua ke kota Madinah setelah hijrah yang pertama ke Abyssinia, dan alasan yang terakhir yang agak sedikit unik, Nabi Muhammad SAW pernah menyampaikan kepada mereka bahwa kelak Ia akan membawa pembunuhan besar besaran kepada Quraisy, ungkapan Nabi ini tidaklah seberapa saat masa represi terjadi namun maknanya menjadi kuat dan dalam saat terdapat berbagai tanda dan prasangka bahwa Nabi akan menyusul para Muhajirin ( orang orang yang pindah ) ke Madinah, artinya itu sebuah ungkapan ultimatum bagi mereka dan mereka secara politik akan kehilangan kesempatan besar melenyapkan agama baru itu di Mekah bila mereka tidak segera bertindak.

Akhirnya dari berbagai pertimbangan di atas konspirasi para fungsionaris Quraisy menyepakati untuk membunuh Nabi, yang merupakan anak keturunan mereka sendiri dari klan Hasyim dan anak yang memiliki hubungan dalam lingkaran terdalam keluarga para penjaga Ka'bah ordo Quraisy, anaknya Abdullah bin Abdul Muthalib bin Hasyim bin Abdil Manaf bin Qusay dan nama nama yang berderet tersebut pernah menjadi pemimpin besar Ordo Quraisy tidak hanya pimpinan klan, dengan demikian mereka hendak membunuh salah satu anak leluhur terbaik mereka, dan hal ini sangat bertentangan dengan budaya dan nurani bangsa Arab yang sangat menghormati nasab dan janji dan mungkin semua bangsa di dunia, konspirasi ini telah melanggar kepatutan dan norma bangsa Arab sekaligus telah menodai kehormatan mereka sendiri namun apa hendak dikata satu satunya jalan atas kemelut mereka adalah membunuh Nabi Muhammad SAW, skenario pembunuhan akan dilakukan dengan cara mengumpulkan setiap pemuda tangguh dari berbagai klan Quraisy dan rencananya pada malam hari setelah melalui proses pengintaian mereka akan menyergap Nabi di kediamannya kemudian membunuh dengan melayangkan pukulan oleh semua perwakilan pemuda, sehingga darah akan tertumpah ke semua klan di Quraisy, itu artinya klan Hasyim klan nya nabi tidak mungkin melakukan pembalasan ke semua klan Quraisy di jazirah Arabia.

Pada sore hari pelaksanaan konspirasi pembunuhan, Jibril turun ke bumi dan menemui Nabi, kemudian menceritakan rencana Quraisy tersebut, anehnya suasana batin Nabi saat itu malah merasa gembira dengan pemberitahuan Jibril, artinya itu sebuah pertanda bahwa Nabi telah diizinkan berhijrah ke Madinah oleh Allah menyusul umatnya, Nabi segera bergegas menemui Abu Bakar dan menceritakan ulang apa yang disampaikan Jibril, mereka berdua kemudian menyusun siasat kecil untuk meloloskan diri dari bahaya tersebut, setelah siasat disepakati Nabi kembali ke rumahnya sementara Abu Bakar berdasarkan kesepakatan melakukan beberapa hal dalam upaya meloloskan diri tersebut diantaranya memberikan pesan kepada putrinya Asma kakaknya Aisyah untuk mempersiapkan perbekalan keberangkatan, singkat kisah pada malam hari para pemuda Quraisy kemudian mengepung dan mengintai kediaman Nabi mereka berencana menyergap Nabi pada saat sebelum subuh karena biasanya Nabi berangkat ke Masjid lebih awal dari Subuh atau tepat Subuh sementara itu Nabi berpesan kepada Ali bin Abi Thalib untuk tidur di tempat tidurnya dan berselimut mantel yang biasa Beliau pakai untuk tidur, Ali adalah sahabat lainnya yang diberitahu Nabi akan konspirasi jahat ini dan Ali cukup mengerti perannya saat itu, malam mulai larut dan para pemuda itu masih menantikan Nabi, akhirnya Nabi keluar setelah sebelumnya membaca Surah Yasin dan menghayatinya pada ayat “ ...dan di depan mereka terdapat dinding, dan di belakang mereka terdapat dinding, lalu kami tutup mereka ( penglihatanya ) sehingga mereka tidak bisa melihat “ Nabi dapat melewati para pemuda tersebut tanpa halangan apapun dan di perjalanan menjauhi rumah menemui rumah Abu Bakar Nabi bertemu dengan seseorang yang akhirnya memberitahukan pada para pemuda perwakilan bahwa ia telah melihat Muhammad SAW, merasa terkecoh dan kecolongan para pemuda tersebut mulai berencana menyelinap lewat jendela dan membuktikan dengan kepala sendiri ke dalam rumah namun dari dalam rumah terdapat banyak suara perempuan muslimah yang mengobrol kemungkinan suara Ummu Aiman dan mereka ragu untuk menyelinap melalui jendela yang di didalamnya terdapat wanita Arab termasuk ke dalam pantangan, saat keragu raguan itu muncul di benak mereka dari dalam kamar Nabi, Ali keluar rumah dengan masih menggunakan selimut yang biasa dipakai Nabi, akhirnya mereka yakin bahwa Nabi telah pergi meninggalkan mereka tanpa sepengetahuan mereka dan mereka kembali melapor menemui masing masing pimpinan klannya, adapun Nabi bersama Abu Bakar telah pergi berhijrah dengan melewati rute yang tidak biasa menuju Gua Tsur di selatan Mekah.

Dari beberapa kisah singkat konspirasi upaya pembunuhan Nabi di atas ada satu hal yang paling menarik untuk dijadikan telaga hikmah dalam jiwa dan pikiran kita yaitu pertolongan Allah melalui malaikat Jibril, pertolongan Allah selalu datang di saat saat yang paling genting dalam kehidupan Nabi saat jiwanya terancam saat akan menyantap hidangan beracun, saat merasa lemah karena serangan sihir, atau saat saat genting pengepungan pemuda Quraisy menjelang penyergapan, saat itulah pertolongan Allah datang saat itulah konspirasi di jawab wa makaru wamakarullah wallahu khoirul makirin, “mereka membuat makar dan Allah pun membuat makar dan Allah lah sebaik baik pembuat makar

Wallahu 'alam
( dari berbagai kajian sirah nabawiyah)

Selasa, 12 April 2011

Konspirasi di sekitar Nabi ( bagian 2 )

Konspirasi Sihir
Konspirasi yahudi yang lain dilakukan oleh seorang yang bernama Labid dengan cara yang sangat tidak wajar dan mengancam kehidupan Nabi Muhammad SAW, setelah mendapat banyak sogokan dari Yahudi dan Munafiqin Madinah, Labid seorang Yahudi yang mewarisi ilmu sihir secara turun temurun dari leluhurnya merasa memiliki kesempatan untuk melestarikan ilmu sihir dengan mengajarkan sihir terhadap anaknya, ia menyuruh anaknya untuk mengambil beberapa helai rambut Nabi, sang anak setelah mendapatkan beberapa helai rambut Nabi, atas petunjuk Labid kemudian mengikatnya dengan buhul satu helai rambut masing masing satu buhul dan setiap buhul kemudian dibacakan sihir, buhul tersebut kemudian diikat dengan ranting kurma dan ranting kurma tersebut dibungkus dengan daun dan akhirnya bungkusan tersebut di simpan di dasar sumur tua yang gelap dan dalam. Serangan sihir itu membuat Nabi Muhammad SAW merasa lemah lunglai, mulai hilang beberapa ingatan dan berkhayal melakukan hal hal yang sebenarnya tidak pernah dilakukan, sampai Nabi pun tidak mampu memakan makanan yang ada, serangan yang tak terduga ini akhirnya bisa dibebaskan melalui petunjuk dalam mimpi Nabi, dalam mimpinya ada dua orang jin yang menggangu Nabi, satu bergelayut di pundak Nabi dan yang satu bertengger di kaki Nabi, dua jin tersebut memberitahukan kepada Nabi tentang konspirasi Labid dan memberitahu letak buhulnya di dasar sumur tua yang gelap dan dalam. Allah kemudian menurunkan wahyu surah An Nas dan Al Falaq sebagai penangkal buhul atas peristiwa ini, Nabi kemudian menyuruh Ali mencari buhul tersebut dan membacakan ayat ayat pada surah An Nas dan Al Falaq untuk membuka setiap ikatan buhul tersebut sehingga dua Jin bisa terbebas dan Nabi kembali sehat seperti biasanya.

Konspirasi janda Sallam bin Misykam

Lagi lagi konspirasi lainnya dilakukan oleh seorang yahudi, seorang janda Sallam ibn Misykam, sebagaimana Shafiyyah setelah ekspedisi perang Khaibar berakhir ia menjadi tawanan kaum Muslimin, suatu ketika pada saat Nabi berkemah dalam perjalanan pulang dari Khaibar janda Sallam ibn Misykam berkonspirasi menyuguhkan masakan daging domba muda yang telah dipotong potong dan menaburinya dengan racun yang mematikan pada setiap potongannya terutama bagian paha, karena ia mendapat kabar bahwa Nabi sangat menyukai daging domba muda terutama bagian pahanya, saat Nabi hendak menyantapnya bersama dengan seorang sahabat yang duduk di sampingnya bernama Bisyr, Nabi kemudian berkata “.. tahanlah tangan kalian sesungguhnya daging domba ini telah diracuni “ para sahabat serentak kaget dan tidak jadi menyantapnya, namun sayang Bisyr telah tanggung menelan potongan dagingnya, wajahnya berubah menjadi pucat pasi akibat racun mematikan dan beberapa saat setelahnya Bisyr meninggal, atas kejadian ini janda Sallam ibn Misykam berkata kepada Nabi bahwa jika benar benar Beliau adalah Raja maka niscaya dirinya akan dibebaskan dan jika saja Beliau seorang Nabi maka pasti akan ada yang memberitahukannya tentang konspirasi dirinya tersebut seperti terjadi pada konspirasi Huyayy di Madinah. Nabi menyampaikan kepadanya bahwa daging domba tersebutlah yang langsung memberitahukan bahwa daging tersebut telah ditaburi racun yang mematikan, akhirnya karena keimanannya janda Sallam kemudian dibebaskan dari tawanan dan ia memeluk Islam menjadi Muslimah.

Wallahu ‘alam ( bersambung )

* buhul adalah sejenis alat da n perangkap sihir bagi jin agarjin melakukan apa yang diinginkan manusia, buhul adalah kunci untuk membebaskan seseorang dari gangguan sihir atau tenung, bila buhul yang mengikat jin tersebut lepas maka sihir atau tenung pun lepas bersamaan.