Sabtu, 31 Maret 2012

REKENING KEPERCAYAAN DAN GOODWILL

Salah satu aset berharga pemimpin adalah nama baik, citra, popularitas, kredibelitas, integritas dan atau dinamakan legitimasi publik. Sayangnya jenis aset tersebut di atas tidak bisa dikuantifikasi secara matematis sehingga sulit memperlakukan dan menyajikannya dalam neraca politik seseorang.

Salah satu pendekatan yang memungkinkan adalah memperlakukan nama baik, citra, kredibelitas, integritas dan atau legitimasi public sebagai goodwill. Goodwill adalah aset tetap tidak berwujud (intangible assets) yang tidak bisa diidentifikasi namun bisa dikuantifikasi jumlahnya.

Dalam kacamata akuntansi setiap asset tetap pasti mengalami penyusutan (amortisasi), begitupun goodwill seseorang pasti mengalami amortisasi. Menurut hukum penyusutan ini, goodwill seseorang mengalami masa manfaat politik yang terbatas dan diamortisasi selama masa manfaat politiknya. Sehingga seiring berjalannya waktu dan sejarah goodwill tersebut akan berkurang dan lama kelamaan akan habis.

Bagi pemimpin yang membangun goodwillnya dengan cara cara yang tidak baik, tidak cerdas dan tidak kreatif misalkan dengan mengandalkan politik pencitraan atau rekayasa sosial yang machiavelistik, maka hal tersebut sama sekali tidak menambah rekening goodwill melainkan menguranginya. Bahkan sesungguhnya goodwill mereka sewaktu waktu akan mengalami apa yang disebut sebagai rush, sebuah kondisi saat rakyat menarik kembali rekening kepercayaanya secara besar besaran sehingga goodwill pemimpinya nihil, berubah jadi badwill, karir politiknya habis, rezimnya berakhir.

Penarikan rekening goodwill secara besar besaran (rush) terjadi saat pemimpin dianggap menghianati rakyat sebagai pemegang kuasa (mandat) pemberi rekening kepercayaan karena kebijakannya yang tidak populis dan menyengsarakan rakyat. Rush ini tidak hanya menimbulkan kerugian politik bagi pemimpin tersebut namun juga bisa memicu krisis politik yang sistemik, massif dan tidak terstruktur.

          Namun bagi pemimpin yang membangun goodwillnya dengan cara cara yang baik, benar, mencintai rakyat dengan amal, dan kerja kerja yang nyata, cerdas dan kreatif sesuai amanat konstitusi, meskipun terkena hukum penyusutan namun rekening goodwillnya justru semakin hari semakin bertambah.
           Saat rakyat merasakan manfaat dari kinerja pemimpinnya maka dengan sendirinya rakyat ikut menabung rekening kepercayaan, sehingga secara akrual rekening tersebut tumbuh dan terkonversi menjadi goodwill, dan goodwill sang pemimpin pun terus menerus terkapitalisasi jumlahnya sehingga neraca politiknya semakin hari semakin sehat, membaik dan menghasilkan laba.

            Bahkan di kemudian hari apabila sang emimpin konsisten memelihara (maintenance) rekening goodwillnya dengan kinerja yang baik maka akan menimbulkan laba yang besar. Sehingga rakyatpun sebagai pemegang saham mayoritas (controlling interest) atas rekening kepercayaanya tersebut merasakan nikmat pembagian deviden keadilan, pemerataan, pertumbuhan, kesejkahteraan dan kemakmuran yang melimpah ruah.
Wallahu’alam 

Jumat, 30 Maret 2012

RELEVANSI PEMIKIRAN MARX TENTANG PERJUANGAN KELAS TERHADAP KONSEPSI HUBUNGAN INDUSTRIAL MODERN

“  Sejarah dari semua masyarakat yang ada sampai saat ini merupakan cerita dari perjuangan kelas. Kebebasan dan perbudakan, bangsawan dan kampungan, tuan dan pelayan, kepala serikat kerja dan para tukang, dengan kata lain, penekan dan yang ditekan, berada pada posisi yang selalu bertentangan satu sama lainnya, dan berlangsung tanpa terputus
(Karl Marx)



PENDAHULUAN
Untuk memahami relevansi pemikiran Marx tentang perjuangan kelas terhadap konsepsi hubungan industrial modern maka terlebih dahulu kita harus memahami realitas sosial hubungan industrial. Cara efektif memahami realitas sosial hubungan industrial adalah dengan memotret persoalan persoalanya. Realitas hubungan industrial saat ini masih menyisakan berbagai persoalan ketenagakerjaan diantaranya sebagai berikut adalah :
1.      Outsourcing / PKWT (Perjanjian Kerja Waktu Tertentu)
Konsep outsourching menurut Charles Handy direkomendasikan untuk pekerjaan pekerjaan yang tidak esensial atau memerlukan spesialisasi khusus, namun seiring dengan perkembangan industri dan operasi perusahaan penggunaan outshourching menjadi semacam tren global industri. Outshourching dianggap sebagian besar perusahaan sebagai salah satu cara yang paling efektif, efisien dan kreatif dalam kebijakan ketenagakerjaan.
Sewaktu waktu sesuai Undang Undang pemberi kerja dapat melakukan pemutusan kerja dengan para pekerja terutama apabila pekerjaan yang diperjanjikan telah selesai masa kontraknya atau telah terjadi kebijakan pemutusan jumlah pegawai karena membebani biaya tetap perusahaan. Alasan yang kedua sangatlah merugikan sisi pekerja sebagai salah satu entitas yang berpengaruh dalam struktur industri. Di sinilah salah satu akar persoalan outsourcing, pekerja tidak mendapatkan jaminan dan kepastian hukum dari pemberi kerja, pekerja berada dalam wilayah ketidakpastian.
2.      Pesangon, Uang Penghargaan Masa Kerja
Besarnya pesangon dan uang penghargaan masa kerja serta penggantian pengobatan dan perumahan dirasakan oleh pengusaha sangat memberatkan. Undang Undang No. 13 Tahun 2003 kurang memberi fleksibilitas untuk mengubahnya karena harus melalui Peraturan Presiden. Dengan kata lain di samping persoalan yang merugikan pekerja (buruh) di satu sisi terdapat pula persoalan yang berpotensi merugikan pengusaha.
3.      Uang Pisah Kerja
Undang Undang No. 13 Tahun 2003 memberi arahan agar Uang Pisah Kerja dibicarakn antara pengusaha dan serikat pekerja, namun sejak berlakunya KEP-MEN Nomor 150 Tahun 2000 mengenai uang pisah, telah ditetapkan sebagai sesuatu yang harus diberikan pengusaha kepada pekerja yang bermasa kerja 3 tahun atau lebih walaupun pekerja melakukan kesalahan. Sejak itu para pekerja menganggap itu sebagai suatu hak.
4.      Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial
Dengan berlakunya Undang Undang Nomor 2 Tahun 2004 sebagai pelaksanaan pasal 136 dari Undang Undang Nomor 13 Tahun 2003 maka peran tripartit di dalam lembaga penyelesaiaan perburuhan yang mengutamakan  musyawarah untuk mufakat telah berubah menjadi sistem peradilan. Dalam pelaksanaannya ternyata tidak semulus yang diharapkan baik waktu penyelesaiaan, biaya biaya yang diperlukan serta kesiapan para pihak yang berselisih.
5.      Masalah Serikat Buruh
Lahirnya Undang Undang Nomor 2 Tahun 2000 telah mengakibatkan bertambahnya jumlah serikat buruh. Data tentang serikat buruh terdiri dari:
·         91 serikat pekerja / serikat buruh
·         3 konfederasi (KSPSI, KSBSI, KSPI)
·         146 Serikat pekerja Tingkat Nasional
Keadaan diatas dan  dengan terfragmentasinya perjuangan buruh ke dalam kelompok kelompok berbeda secara tidak langsung ikut serta mempersulit posisi buruh dalam Tripartit
6.      Masalah Pengupahan
Dengan penetapan upah minimum regional, sektoral yang diberlakukan setiap tahun mengakibatkan pengusaha kesulitan dalam menetapkan besaran upah menjelang atau sesudah terjadi gejolak di dalam dunia usaha.
7.      Lapangan Kerja
Di bawah ini adalah tabel lapangan kerja sepanjang tujuh tahun yang berhasil direkapitulasi
Tahun
Orang
2000
5.813.000
2001
8.005.000
2002
9.132.000
2003
9.531.000
2004
10.251.000
2005
10.854.254
2006
11.104.693
2007
10.547.917

Persoalan persoalan tersebut di atas adalah persoalan yang realistis dan kekinian dalam hubungan industrial modern. Secara garis besar persoalan tersebut belum final dan dalam proses konsolidasi antara entitas entitas yang ada dalam hubungan industrial ke arah bentuk, identitas dan karakter hubungan industrial modern.

PEMIKIRAN MARX TENTANG PERJUANGAN KELAS
Dalam bukunya Manifesto of Communist Party bersama Frederich Angels, Karl Marx memperkenalkan sebuah teori perjuangan kelas. Teori yang menyatakan bahwa struktur masyarakat sosial dalam berbagai zaman dan sejarah selalu terpolarisasi ke dalam dua kelas yang saling bertentangan yaitu kelas pekerja atau golongan proletariat dan kelas bangsawan atau golongan borjuis. Kedua kelas tersebut saling mempengaruhi secara dialektis. Dan menurut Marx kelas pekerja memiliki keharusan untuk berjuang mengubah keadaan dan merebut kekuasaan melalui tindakan perjuangan  revolusioner demi mengubah struktur sosial masyarakat.
Kelas proletar merupakan kelas yang ditekan dan dieksploitasi oleh kelas borjuis karena kelas proletar tidak menguasai faktor faktor produksi, tidak memiliki akses kekuasaan dan memiliki posisi politik yang lemah dalam hubungan industrial. Berbeda dengan kelas borjuis yang  menguasai modal dan faktor faktor produksi dan secara politik berada dalam posisi puncak kekuasaan. Revolusi industri telah menyuburkan praktek praktek eksploitasi buruh, kelas buruh telah menjadi batu bata dan skrup dari bangunan industri para pemilik modal. Kondisi ini semakin menguatkan teori Marx dan membakar semangat buruh di berbagai belahan dunia saat itu untuk berjuang melakukan protes secara revolusioner. Revolusi Bolswevik adalah contoh konkret revolusi yang digerakan oleh semangat dan teori perjuangan kelas. Namun sayang ternyata revolusi yang digerakan oleh Lenin ini malah membuka kediktatoran dan kekuasaan despotis yang baru.
Cita cita perjuangan kelas pada dekade itu telah membuktikan secara historis bahwa teori perjuangan kelas ini adalah teori yang sangat utopis untuk diterapkan secara kompatibel ke dalam berbagai konteks sosial politik. Cita cita masyarakat tanpa kelas (classless society) yang menjadi ujung perjuangan Marx telah kandas ditelan sejarah sebelum membuktikan relevansinya dalam hubungan industrial modern.
Dengan demikian teori perjuangan kelas ini memiliki banyak kelemahan dalam basis rasionalitas, empiris serta sosio historisnya. Namun tetap saja memiliki daya pikat tersendiri bagi kalangan ilmuwan sosial ekonomi. Apabila dikaji lebih dalam keterpikatan mereka sebagian besar disebabkan karena sesungguhnya teori perjuangan kelas ini memunculkan semangat fanatisme dan radikalisme yang merupakan bagian integral dalam watak dasar manusia sosial yang menurut Herbert Spencer disebut dengan naluri dasar bertahan hidup.

KONSEP HUBUNGAN INDUSTRIAL MODERN
Konsep hubungan industrial modern didasarkan pada konsep kesalingtergantungan (interdependen) antar entitas dalam industri. Menurut Dunlop sistem hubungan industrial yang interdependen memiliki tiga entitas (aktor) utama yaitu entitas buruh, para manajer dan organisasi perwakilan mereka, bersama-sama dengan badan pemerintah tertentu, semuanya saling berinteraksi untuk menciptakan jaringan ketentuan yang mengatur hubungan mereka di tempat kerja, ketentuan mana merupakan keluaran dari sistem itu sendiri.
Terdapat tiga aktor dari hubungan industrial yaitu:
1. Buruh  
2. Manajemen  
3. Lembaga Pemerintah
Interaksi dari ketiga aktor tersebut di atas melahirkan the rules of workplace (aturan di tempat kerja)












Buruh
 










Manajemen
 


Lem. Pemerintah
 

 



The rules of workplace

Ketiga aktor hubungan industrial melakukan interaksi dengan didasari oleh ideologi. Adanya kesamaan ideologi dari ketiga aktor sangat menentukan berhasil atau tidaknya hubungan industrial.
Sistem hubungan industrial Dunlop didasarkan pada suatu ideologi atau seperangkat pikiran dan keyakinan yang disepakati bersama. Dia kukuh berpendapat bahwa ideologi sistem hubungan industrial merupakan suatu jalinan sejumlah pikiran bersama yang menetapkan pikiran dari masing masing pelaku tentang tempat kerja dan fungsi pelaku lain dalam sistem itu.
Dunlop mengakui bahwa tiap pelaku dalam sistem mungkin saja memiliki ideologi sendiri. Namun demikian, dalam sistem hubungan industrial yang matang, tiap ideologi itu akan cukup kompatibel dan konsisten sehingga memungkinkan terjadinya seperangkat pemikiran yang mengakui adanya peranan tiap pelaku terhadap pelaku lainnya.
The rules of the workplace
Yang termasuk dalam kategori ini menurut Dunlop diantaranya adalah:
-          Labour legislation
-          Trade Union regulations
-          Collective agreement
-          Conciliation settlement
-          Abitration awards
-          Managerial decisions, social conventions
-          Accepted customs dan practices
Prespektif lain tentang hubungan Industrial menurut ahli hubungan industrial Singapore, Venkatraman Anantaraman adalah teori Unitary Perspective, yaitu teori yang memandang bahwa hubungan antara pihak manajemen dengan buruh bukan merupakan hubungan persaingan yang memiliki hubungan antagonis, akan tetapi merupakan hubungan dari suatu tim, dimana pihak manajemen menentukan kebijaksanaan dan buruh melaksanakan. Teori ini sepertinya mengabaikan keberadaan ideologi dalam hubungan industrial sebagaimana masih diakui oleh Dunlop. Serta memandang hubungan industrial secara teknokrasi dan terlepas dari unsur unsur non material. Premis ini berkembang karena melihat semakin massif dan progresifnya proses industrialisasi dan kapitalisme sehingga melihat hubungan industrial dalam hubungan simbiosis mutualisme antar aktor aktor didalamnya.
Teori lain menurut Venkatraman yang sejalan dengan teori Marx dan Dunlop adalah teori class conflict perspective. Venkatraman juga menambahkan ada yang disebut sebagai the industrial conflict perspective sebagai pengembangan dari class conflict sesudah apa yg disebutnya sebagai masyarakat paska kapitalis.
Menurut Ralf Dahrendorf terdapat tiga penyebab determinatif perubahan di masyarakat industri modern yaitu :
1. Dekomposisi modal (the decomposition of capital)
2. Dekomposisi buruh (the decomposition of labor)
3. Kelas menengah baru (the new middle class)
Dekomposisi modal dan buruh bukanlah teori yang baru dalam teori perubahan industrial namun kelas menengah baru yang disebutkan Ralf adalah entitas yang baru yang kemungkinan mewakili fenomena dari lahir dan berkembangnya kapitalisme dan industrialisasi. Kelas menengah merupakan kelas yang lahir dari kontraksi antara para pemilik modal dan buruh yang berpikiran realis dan berhasil mendapatkan keuntungan secara ekonomis dari proses industrialisasi, bisa pula dari entitas entitas luar yang juga mendapatkan manfaat ekonomis dari perseteruan panjang antara buruh dan pemilik modal misalkan entitas pihak ketiga, para pemasok dan masyarakat vendor.
Dari uraian singkat di atas, lalu bagaimana sebenarnya konsepsi hubungan industrial modern di Indonesia?. UndangUndang Ketenagakerjaan Nomor 13 tahun 2003 pasal 1 angka 16, hubungan industrial didefinisikan sebagai
“ Suatu sistem hubungan yang terbentuk antara para pelaku dalam proses produksi barang dan/atau jasa yang terdiri dari unsur pengusaha, pekerja/buruh dan pemerintah yang didasarkan pada nilainilai Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945.”
Melihat definisi tersebut, hubungan industrial merupakan hubungan yang didasarkan pada nilai nilai luhur untuk saling bekerjasama mempertahankan kelangsungan proses produksi yang terjadi di perusahaan. Keseimbangan antara pengusaha dan pekerja merupakan tujuan ideal yang harus dicapai agar terjadi hubungan yang harmonis antara pekerja dan pengusaha karena tidak dapat dipungkiri bahwa hubungan antara pekerja dan pengusaha menurut definisi tersebut adalah hubungan yang saling membutuhkan dan saling mengisi satu dengan yang lainnya. Pengusaha tidak akan dapat menghasilkan produk barang atau jasa jika tidak didukung oleh pekerja, demikian pula sebaliknya.
 Yang paling mendasar dalam konsepsi hubungan industrial adalah kemitrasejajaran antara Buruh dan Pengusaha yang keduanya mempunyai kepentingan yang sama, yaitu bersamasama ingin meningkatkan taraf hidup dan mengembangkan perusahaan. Adapun idelogi yang mempengaruhi aktor aktor di dalamnya seharusnya bersumber dari nilai nilai luhur bangsa Indonesia yaitu Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945. Inilah yang dimaksud hubungan industrial modern di Indonesia, hubungan yang didasari semangat yang terkandung dalam konstitusi Negara, semangat untuk hidup bersama dalam keadilan dan kemakmuran. Serta semangat memajukan hubungan industrial dalam iklim kebersamaan, cinta kasih, gotong royong dalam suasana yang demokratis.

RELEVANSI PEMIKIRAN MARX TENTANG PERJUANGAN KELAS TERHADAP KONSEP HUBUNGAN INDUSTRIAL MODERN
Dari uraian singkat di atas sekali lagi nampak bahwa terdapat perbedaan yang sangat mencolok antara konsep pemikiran Marx tentang perjuangan kelas dengan realitas sosial hubungan industrial modern yang telah banyak dipengaruhi proses perkembangan demokrasi kontemporer. Dengan kata lain pemikiran Marx secara keseluruhan sangat utopis dan tidak relevan, masyarakat tanpa kelas yang dicita citakan (classless society) sangatlah tidak mungkin tumbuh di Indonesia karena bertentangan dengan karakter dasar bangsa Indonesia yang beragam. Serta telah mengabaikan suatu perkembangan luhur dalam sejarah umat manusia yaitu tumbuhnya iklim demokrasi kontemporer di negara negara berkembang termasuk Indonesia (demokrasi pancasila).
Namun demikian tidak bisa dipungkiri terdapat konsep Marx yang masih relevan dalam hubungan industrial modern yaitu konsep yang menyatakan bahwa entitas buruh harus berjuang mempertahankan haknya dari eksploitasi industrialisasi modern. Premis Marx  ini menyatakan tentang hak hidup, hak mengejar kebahagiaan serta hak berserikat dan berkumpul yang dijamin konstitusi, hak untuk berjuang meningkatkan taraf hidup dalam kancah demokrasi konstitusional. Sebuah model demokrasi yang bersumber dari Pancasila dan Undang Undang Dasar 1945.


Kamis, 29 Maret 2012

TEORI TSUNAMI POLITIK

Teori tsunami politik menyatakan bahwa proses perubahan sosial tidak ditentukan secara determinatif oleh entitas politik tertentu, baik lembaga lembaga sosial politik, elit dan partai politik atau massa (kelas, ummat dll). Teori ini merupakan pengembangan dari teori Marx (1818-1883) tentang perjuangan kelas dan filsafat Hegel tentang kehadiran tesis dan antitesis,. Namun sepenuhnya berbeda dan mendasarkan pada premis bahwa perubahan sosial tertentu bukan hanya hasil interaksi secara antagonis  antara tesis dan antitesis pada dua kutub ekstrim sebagaimana Marx ungkapkan,  melainkan merupakan hasil kontraksi sosial (tarik menarik) diantara berbagai entitas politik di dalam struktur politik tertentu.

Premis ini menolak entitas politik terfragmentasi ke dalam dua kutub yang berlawanan melainkan melihat bahwa perjuangan kelas bukanlah metode untuk melakukan perubahan sosial, melainkan metode yang hanya memperkuat kontraksi sosial antar entitas politik. Dengan demikian wacana, aksi dan agenda politik tidak hanya ditentukan secara determinatif oleh partai dan elit saja melainkan ditentukan pula oleh massa (ummat) dan hasil kontraksi di dalamnya. Kontraksi sosial tersebut kemudian secara akrual melahirkan tenaga politik yang tersimpan, terendap, berakumulasi dan sewaktu waktu bisa menimbulkan ledakan politik tertentu, sebut saja ledakannya sebagai tsunami politik.

Dari teori singkat yang perlu diuji kembali secara ilmiah diatas, sesungguhnya wacana dan aksi penolakan kenaikan harga BBM merupakan bentuk kontraksi sosial antar entitas politik yang lahir dan dipicu oleh akumulasi kekecewaan dan ketidakadilan yang tersimpan selama ini. Bukan muncul secara tiba tiba dan ditunggangi oleh partai, elit atau entitas politik tertentu. Oleh karena itu ujung dari aksi perjuangan penolakan kenaikan harga BBM ini tidak ditentukan sepenuhnya di parlemen, tidak pula ditentukan oleh pemerintah dan tidak hanya oleh massa aksi, melainkan ditentukan oleh seberapa besar perjuangan (kontraksi) masing masing entitas politik di dalamnya. Perjuangan tersebut menyumbang dan menyimpan tenaga politik yang besar dan sewaktu waktu mampu menimbulkan tsunami politik.