Selasa, 23 September 2014

EVALUASI PEMILUKADA LANGSUNG MELALUI PENDEKATAN SYSTEM THINKING

EVALUASI PENYELENGGARAAN PEMILUKADA LANGSUNG
 MELALUI PENDEKATAN SYSTEM THINKING

 Oleh: Denden Deni Hendri

 Abstrak Salah satu perkembangan demokrasi yang membanggakan di Indonesia adalah penyelenggaraan Pemilihan Umum Kepala Daerah dan Wakil Mepala Daerah secara langsung oleh rakyat. Semenjak lahirnya Undang Undang Pemerintahan Daerah Nomor 32 Tahun 2004 sebagaimana telah diubah dengan Undang Undang Nomor 12 Tahun 2008, Indonesia telah mempertahankan sistem pemilukada langsung selama kurang lebih 10 tahun, selama itu pula sistem ini telah diuji melalui praktik demokrasi konstitusionalnya, apakah pemilukada langsung menghasilkan efektifitas pemerintahan daerah? atau justru sebaliknya, menghasilkan inefektifitas pemerintahan daerah, pemborosan anggaran, konflik horizontal, tumbuhnya money politic dan budaya transaksional di masyarakat serta kejenuhan politik akibat seringnya penyelenggaraan pemilukada dan dampak-dampak lainnya. Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai co-legislation telah melakukan evaluasi atas penyelenggaraan Pemilukada secara langsung dan mengajukan Rancangan Undang Undang (RUU) Pemilukada yang isinya mengembalikan Pemilukada kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) seperti terjadi pada zaman orde baru dan orde lama. Makalah singkat ini disusun sebagai suatu alternatif baru dalam melakukan analisis dan evaluasi penyelenggaraan Pemilukada dengan menggunakan pendekatan System Thingking.

 A. PENDAHULUAN 
Menurut pembukaan (preambule) Undang Undang Dasar 1945 pada alinea 4 (empat), negara kita menganut sistem kedaulatan rakyat sekaligus kedaulatan hukum sebagaimana berbunyi ” maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat ”. Kemudian pasal satu ayat (2) Undang Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa ” kedaulatan adalah di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang Undang Dasar ”. Bedasarkan teks tersebut, konstitusi kita sebenarnya telah sejak dulu memperkenalkan konsep kedaulatan. Yang pertama adalah kedaulatan rakyat, rakyat adalah pemegang kekuasaan dan puncak tertinggi dari kekuasaan, perwujudan kedaulatan rakyat yang paling paripurna adalah keikutsertaan atau partisipasi rakyat dalam penyelenggaraan pemilu dan pemilukada. Dalam konteks kebijakan publik, keikutsertaan rakyat dalam penyelenggaraan pemilu merupakan contoh model kebijakan publik yang bersifat partisifatif dan paling ideal, rakyat ditempatkan tidak hanya sebagai objek kebijakan namun juga sebagai subjek kebijakan publik yang menentukan langsung pemimpin di tengah tengah mereka. Menurut John Locke (1965) dan Jean Jacques Rousseau (1962) mekanisme seperti ini disebut sebagai teori kontrak sosial yaitu rakyat sendiri secara otonom, bebas dan mandiri yang melakukan perjanjian atau kontrak sosial dengan pemimpinnya melalui pemilu dan pemilukada. Inilah hakikat demokrasi konstitusional yang pertama yaitu terwujudnya kedaulatan rakyat dalam pemilu dan pemilukada. Yang kedua adalah kedaulatan hukum, kekuasaan ada ditangan hukum melalui produk produk hukum yang dikeluarkan oleh lembaga yudikatif seperti Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Menurut Janedri M Gaffar (2012) kekuasaan tertinggi setelah amandemen UUD 1945 tidak berada di tangan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) tetapi berada di tangan konstitusi, konstitusi kita salah satunya menganut teori trias politikanya Montesque (1993) tentang pembagiaan kekuasaan (divison of power) yaitu membagi kekuasaan kepada eksekutif, legislatif dan yudikatif. Kekuasaan untuk membuat undang undang, melaksanakan undang undang dan kekuasaan untuk mengawasi pelanggaran terhadap undang undang. Dengan demikian kedaulatan melekat pada lembaga lembaga tersebut di atas. Dalam konteks penyelengaraan pemilukada menurut kontruksi demokrasi konstitusional, setelah terpilihnya Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota/Kab. mengeluarkan kebijakan publik atas penetapan rekapitulasi perolehan suara yang merupakan perwujudan nyata kedaulatan rakyat dan kontrak sosial rakyat dan pemimpinya, kemudian diuji kembali kebenaran dan keabsahanya di lembaga yudikatif yang diberi kewenangan kosntitusi untuk memutus sengketa Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) yaitu Mahkamah Konstitusi. Putusan tersebut adalah putusan di tingkat pertama dan tingkat terakhir (inrach) yang merupakan perwujudan kedaulatan hukum. Inilah hakikat kedua demokrasi konstitusional yaitu kedaulatan rakyat juga selaras dengan kedaulatan hukum. Praktik demokrasi konstitusional melalui penyelengaraan pemilukada oleh KPU Kota/Kab dan penyelesaian sengketa di mahkamah melalui dua tahap kedaulatan yaitu kedaulatan rakyat dan kedaulatan hukum, menurut Saldi Isra (dalam Gaffar : 2012) titik temu keduanya merupakan pemaknaan baru terhadap konsep demokrasi konstitusional di Indonesia. Dengan kata lain menurut penulis, demokrasi konstitusional telah mememukan jati diri dan otentisitasnya dalam tataran praktik penyelengaraan pemilukada dan penyelesaian sengketa pemilu. Karena memenuhi dua unsur kedaulatan sebagaimana termaktub dalam konstitusi kita. Namun di tengah menguatnya sistem demokrasi konstitusional melalui praktik pemilukada langsung, baru baru ini muncul wacana untuk mengembalikan pemilukada kepada DPRD, karena pemilukada langsung sebagaimana pernah disampaikan oleh Menteri Dalam Negeri Gamawan Fauzi, dinilai telah membawa banyak kemudharatan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terjadinya inefektifitas pemerintahan daerah, pemborosan anggaran, konflik horizontal, tumbuhnya budaya money politic dan politik transaksional di masyarakat, terjadinya kejenuhan politik karena seringnya pemilu, tumbuh suburnya korupsi di pemerintahan daerah yang pada akhirnya mengakibatkan pembangunan daerah yang terbengkalai, terutama pada penyediaan infrastruktur, sektor pelayanan publik, pengentasan kemiskinan, penciptaan ekonomi daerah yang mapan melalui peningkatan daya beli masyarakat, perluasan produksi, penciptaan komoditi unggulan daerah, pengendalian harga bahan pokok dan inflasi daerah serta menghambat proses industrialisasi daerah.

 B. STORY LINE, VARIABEL DAN CAUSAL LOOP DIAGRAM (CLD)

 Permasalahan tersebut di atas telah menjadi permasalahan dan agenda publik yang perlu dipecahkan segera melalui pendekatan baru. Munculnya permasalahan- permasalahan publik tidak bisa diselesaikan dengan cara dan solusi yang sama dengan satu pendekatan lama menggunakan metode analitik yang membagi permasalahan ke dalam bagian bagian kecil untuk dipelajari dalam keadaan ”terisolasi”, kemudian menyatukan kembali bagian-bagian tersebut bersama sama sebagai sebuah gambaran dan kesimpulan. Berbeda dengan metode analitik, pendekatan system thinking memusatkan perhatian pada bagaimana sesuatu yang dikaji berinteraksi dengan bagian bagian lainnya dalam suatu sistem. System thingking bekerja dengan mengembangkan cara pandang untuk menjelaskan sejumlah interaksi yang lebih besar dari permasalah publik yang muncul (Wirjatmi:2008) dan (Senge:2002). Dalam konteks pemilukada langsung yang memiliki permasalahan kompleks dan dinamis, system thingking dinilai lebih tepat sebagai pendekatan baru untuk mengevaluasi penyelenggaraan pemilukada. Menurut pendekatan system thingking, pemilukada langsung bukanlah peristiwa linear yang statis dan stagnan, melainkan peristiwa yang kompleks, organis dan dinamis karena menyangkut berbagai hal (variabel) yang mempengaruhi secara langsung maupun tidak langsung kualitas penyelenggaraan pemilukada. Dalam sudut pandang penyelenggara pemilu, keberhasilan dan kualitas suatu penyelenggaraan pemilukada dapat diukur melalui beberapa aspek yaitu : 1. Aspek anggaran Pemilukada yang berkualitas adalah pemilukada yang memenuhi kriteria standar pengelolaan keuangan dan anggaran, yaitu efisien, ekonomis dan akuntabel. Banyak pihak menilai anggaran pemilukada sangat mahal dan boros, namun dalam perspektif penyelenggara, anggaran tersebut sangatlah minim, karena anggaran tersebut sebenarnya telah terkunci dan baku sesuai dengan lampiran Peraturan Menteri Dalam Negeri (permendagri) Nomor 44 Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan permendagri Nomor 57 Tahun 2009, anggaran kemudian didistribusikan ke seluruh pihak terkait dan kepanitiaan ad hoc pemilukada, sehingga apabila satu mata akun (item) anggaran mengalami kebocoran, maka akan menghambat seluruh tahapan penyelenggaraan pemilukada dan berpotensi menggagalkan penyelenggaraan pemilukada. Nominal total anggaran memang sangatlah besar, namun setelah di-breakdown menjadi dana bawahan, nominalnya menjadi kecil, apalagi kalau anggaran tersebut diurai menjadi biaya variabel (variable cost) maka nilai nominalnya secara individual lebih kecil. Persoalan terbesar dalam pemilukada adalah dukungan anggaran dari pemerintahan daerah, anggaran pemilukada berdasarkan Undang Undang adalah dari APBD, pemda yang kinerja pembangunannya baik, akan dengan mudah mengalokasikan dan memfasilitasi anggaran pemilukada kepada penyelengara pemilu melalui Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD), bahkan memfasilitasi gedung kantor KPU Kota/Kab dan gudang logistiknya karena KPU Kota/Kab sebagian besar belum memiliki gedung kantor dan gudang logistik yang representatif, namun pemda pada umumnya kinerja pembangunannya sangat buruk sehingga melalaikan kewajiban pengalokasian dan fasilitasi dana hibah pemilukada, apalagi memberikan fasilitas gedung kantor maupun gudang logistik, kondisi dasar tersebut sangat mempengaruhi kapasitas penyelenggara dalam menghasilkan kinerja teknis yang baik. 2. Aspek manajemen dan teknis Pemilukada yang berkualitas sangat dipengaruhi oleh dukungan manajemen teknis kegiatan, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota/Kab yang telah dibentuk oleh panitia seleksi yang independen dan profesional, kemudian didukung secara teknis oleh sekretariat KPU Kota/Kab. dari unsur PNS dengan membentuk berbagai kelompok kerja (pokja) teknis pemilukada, pokja yang dimaksud setidaknya terdiri dari : a) Kelompok kerja regulasi b) Kelompok kerja logistik c) Kelompok kerja pemutakhiran data d) Kelompok kerja pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau panitia ad hoc e) Kelompok kerja bimbingan teknis f) Kelompok kerja pencalonan g) Kelompok kerja sosialisasi h) Kelompok kerja kampanye i) Kelompok kerja pemungutan suara j) Kelompok kerja rekapitulasi perolehan suara k) Kelompok kerja Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) l) Kelompok kerja pengawasan m) Kelompok kerja keuangan dan anggaran Kelompok kerja inilah yang kemudian ikut serta menentukan secara teknis pemilukada berjalan dengan efektif sesuai tahapan, apabila pokja menegakan good governance dalam dukungan teknisnya, niscaya persoalan-persoalan yang muncul menjadi terminimalisir, terutama persoalan inakurasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) dari pemilu ke pemilu. Persoalan DPT telah membuat masyarakat menjadi jenuh, skeptis dan apatis terhadap pemilukada sehingga tingkat partisipasi pemilih dalam kurun waktu 10 tahun dalam pemilukada trend nya semakin menurun. Penggunaaan teknologi informasi akan membantu meningkatkan efektifitas dan efisiensi kerja penyelenggara, perwujudan penggunaan teknologi informasi tersebut adalah dengan dibentuknya berbagai sistem informasi pada kelompok kerja sebagaimana telah berjalan sejauh ini, yaitu ; - Sistem Informasi Akuntansi (SIA) - Sistem Informasi Logistik (Silog) - Sistem Informasi Pencalonan Perseorangan (Silon) - Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih) - Sistem Informasi Partai Politik (Sipol) - Sistem Informasi Perhitungan Suara (Situng) Penggunaan teknologi informasi yang belum dilakukan adalah pada proses pemungutan suara, proses pemungutan suara di berbagai daerah di Indonesia diselenggarakan secara manual tidak dilakukan secara electronic voting sebagai mana dilakukan di luar negeri. Hal ini disebabkan karena belum adanya payung hukum atas penyelenggaraan e-voting dan belum adanya kesiapan infrastruktur dan kesiapan masyarakat untuk menerima teknologi informasi, cara serta proses teknis yang baru. 3. Aspek hukum dan etika Pada awal penyelenggaraan sebuah pemilukada, penyelenggara melakukan penyusunan regulasi (legal drafting) sebagai payung hukum apabila dikemudian hari terjadi kewajiban hukum kepada penyelenggara (legal liabilities) dan sebagai pedoman hukum (guidance) yang memberikan kepastian teknis dalam penyelengaraan pemilukada. Kegiatan legal drafting ini terkadang disepelekan oleh sebagian penyelenggara karena kegiatannya agak membosankan berupa peyusunan teks teks peraturan hukum, sehingga mereka mengalami persoalan serius di muka pengadilan dan mahkamah karena kebijakan publik yang dihasilkan tidak berdasar hukum yang jelas. Kelemahan aspek hukum ini sangat mempengaruhi kualitas dan kuantitas gugatan pemilu, penyelenggara yang lemah dalam hal penyusunan regulasi seperti tidak memiliki perlindungan hukum yang kuat di pengadilan dan di mahkamah baik persoalan gugatan hukum maupun persoalan gugatan etika penyelenggaraan. 4. Aspek politik Kelemahan pada aspek hukum seringkali dimanfaatkan oleh elit lokal yang terdiri dari para fungsionaris partai politik, incumbent dan tokoh politik lokal lainnya untuk menggiring ke arah persoalan politik, elit lokal inilah yang berperan dalam pengerahan massa, aksi unjuk rasa untuk mendukung kepentingan politiknya dengan cara melakukan tekanan politik kepada KPU Kota/Kab. secara kelembagaan maupun secara personal. Gejolak politik yang terjadi selalu dikhawatirkan berpotensi mengundang konflik sosial berupa anarkisme dan konflik horizontal antar kelompok massa, sehingga tekanan politik ini terkadang berhasil mempengaruhi kebijakan publik KPU Kota/Kab, kepolisian dan KPU Kota/kab akan lebih memilih menerima tekanan politik dari elit lokal dari pada mempertahankan kebijakan publik yang akan mengganggu stabilitas politik daerah. Namun bagi penyelenggara yang memiliki kepekaan hukum, mereka meluangkan fokus di awal tahapan pemilukada untuk melakukan legal drafting dan menggiring tekanan politik yang terjadi pada saaat tahapan untuk disalurkan dan dijinakkan melalui pendekatan hukum pengadilan, dewan kehormatan maupun mahkamah, sehingga mereka tetap dalam posisi profesional dan independen sesuai kaidah dan prinsip pada Undang Undang Penyelengara Pemilu Nomor 22 Tahun 2007 sebagaimana diubah dengan Undang Undang Nomor 10 Tahun 2011. 5. Aspek kualifikasi dan kualitas kepala daerah Sistem politik yang ada saat ini tidak memberikan tanggung jawab dan kewajiban kepada penyelenggara pemilu untuk menghasilkan kualifikasi kepala daerah yang profesional, kompeten dan berintegritas. Sistem politik yang kita anut justru memberikan ruang kepada elit lokal untuk masuk kepada struktur kekuasaan daerah tanpa pengujian kualifikasi terlebih dahulu. Partai politik merupakan pihak yang harus bertanggung jawab atas suksesi dan kaderisasi di internal partai sekaligus bertanggung jawab atas kualifikasi calon kepala daerah yang diususng partai politik dan atau gabungan partai politik. Partai politik cenderung melihat potensi kekayaan bakal calon kepala daerah yang nantinya akan digunakan untuk melakukan berbagai cara mempengaruhi kecenderungan pilihan masyarakat, juga digunakan untuk akomodasi, koordinasi, konsolidasi pemenangan dan yang ironi digunakan untuk praktik money politic terhadap masyarakat Masyarakat yang tingkat kesadaran politiknya rendah tidak akan memperhatikan aspek kualifikasi calon kepala daerah sebagai pertimbangan dalam memilih, yang terpenting bagi mereka adalah bagaimana merasakan kebaikan calon kepala daerah yang akan dipilih, sehingga terjadilah politik transaksional. Calon kepala daerah melalui tim pemenangan yang melakukan banyak praktik money politic berpotensi besar memenangkan pemilukada. Lemahnya kesadaran politik masyarakat merupakan tanggung jawab bersama para pihak di daerah untuk melakukan pendidikan politik kepada masyarakat, penyelenggara pemilukada menjadi bagian terpenting dalam sosialisasi dan pendidikan politik pemilih, meskipun tanggung jawab utama dari penyelenggara adalah menyeleggarakan secara teknis pemilukada sesuai tahapan yang telah disusun. Dengan demikian pemilukada yang berkualitas dalam pandangan penyelenggara adalah pemilukada yang efisien dan akuntabel dari aspek anggaran, efektif dari aspek manajemen teknis, legitimate dari aspek hukum, dan menciptakan stabilitas dari aspek politik. Namun dari aspek kualifikasi kepala daerah, hasil pemilukada tidak bisa menjamin menghasilkan kepala daerah yang profesional, kompeten dan berintegritas. Sehingga tidak bisa menjamin pula terciptanya efektifitas penyelenggaraan pemerintahaan daerah dan pembangunan daerah serta praktik korupsi yang menggurita di daerah sebagai efek domino dari praktik money politic yang terjadi saat penyelenggaraan pemilukada. Menurut pendekatan system thingking, terdapat banyak variabel yang saling terkait secara kausalitas dan kompleks dalam penyelengaraan pemilukada langsung, variabel tersebut terdiri dari variabel internal dan variabel eksternal sebagai berikut : 1) Kapasitas penyelenggara 2) Kinerja teknis penyelenggara 3) Penggunaan teknologi informasi 4) Pokja regulasi teknis 5) Pokja logistik 6) Pokja pemutakhiran data 7) Pokja pembentukan Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK) dan Panitia Pemungutan Suara (PPS) atau panitia ad hoc 8) Pokja bimbingan teknis 9) Pokja pencalonan 10) Pokja sosialisasi 11) Pokja kampanye 12) Pokja pemungutan suara 13) Pokja rekapitulasi perolehan suara Kelompok kerja Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) 14) Kelompok kerja pengawasan 15) Kelompok kerja keuangan dan anggaran 16) Inakurasi Daftar Pemilih Tetap (DPT) 17) Daftar Penduduk Pemilih Potensial (DP4) 18) Populasi Penduduk 19) Tingkat Kelahiran 20) Tingkat Kematian 21) Tingkat migrasi 22) Animo masyarakat 23) Tingkat partisipasi pemilih 24) Praktik money politic 25) Kinerja teknis 26) Tekanan partai politik 27) Tekanan elit lokal 28) Tekanan elit nasional 29) Kualifikasi calon kepala daerah 30) Tingkat pelanggaran pemilu 31) Validitas perolehan suara 32) Efisiensi anggaran 33) Tingkat gugatan hukum 34) Putusan peradilan 35) Tekanan LSM 36) Kualitas pemilukada 37) Kualifikasi kepala daerah terpilih 38) Efektifitas pemerintahan daerah 39) Kinerja pembangunan 40) Alokasi anggaran pemilu 41) Alokasi sarana (gedung kantor) 42) Stabilitas politik 43) Praktik korupsi Apabila variabel variabel tersebut dituangkan dalam Causal Loop Diagram (CLD) secara sederhana, maka terbentuklah CLD sebagaimana Gambar 1 di bawah (CLD lengkap terlampir). Untuk memperbaiki kondisi yang kompleks ini, tidak bisa menggunakan satu pendekatan saja sebagai pengungkit (leverage) misalkan dengan menggunakan pendekatan politik dengan cara merubah sistem pemilukada dengan mengembalikan pemilihan oleh DPRD, hal tersebut akan merusak konstruksi demokrasi konstitusional yang telah terbangun selama dekade terakhir ini. Bila kita urai dengan pendekatan system thinking, solusi yang paling efektif adalah dengan mempertahankan sistem dan memperbaikinya dengan menggunakan berbagai aspek pendekatan untuk mengungkit kualitas penyelenggaraan pemilukada, diantaranya adalah dengan berbagai tindakan pegungkit (leverage) beberapa variabel yang mempengaruhi kualitas pemilukada secara langsung maupun tidak langsung seperti di bawah ini : - Variabel sosialisasi dengan melakukan pendidikan politik secara intensif kepada masyarakat, - Variabel kapasitas penyelenggara, dengan peningkatan kapasitas penyelenggara melalui dukungan anggaran dan pemenuhan kebutuhan gedung kantor dan gudang logistik, - Variabel regulasi teknis dengan melakukan penyempurnaan regulasi teknis pemilukada, - Variabel kualifikasi calon kepela daerah, dengan mengagas pengaturan pencalonan dan kualifikasi calon kepala daerah dalam UU, - Variabel partai politik, dengan menggagas UU keuangan partai politik, - Variabel money politic, dengan mengatur ketentuan money politic dalam UU, - Variabel putusan peradilan, dengan menata sistem penyelesaian sengketa pemilukada secara satu atap, - Variabel teknologi informasi, dengan mendorong penyelengaraan pemungutan suara melalui electronic voting Peningkatan kapasitas penyelenggara akan menambah kualitas kinerja teknis, kemampuan melaksanakan pendidikan politik dan kemampuan menyusun regulasi pemilukada yang andal (realible) serta penggunaan teknologi informasi. Bertambahnya kualitas kinerja teknis pada berbagai kelompok kerja, akan membentuk struktur penyelengaraan yang kuat dan cukup resisten terhadap berbagai tekanan politik dari lingkungan. Praktik good governance dalam kinerja penyelenggara juga dapat membentengi dari praktik money politic yang dilancarkan oleh bakal calon, partai politik maupun elit lokal. Pendidikan politik pada sisi yang lain dapat menambah kesadaran politik masyarakat dan mengurangi praktik money politic tersebut serta meningkatkan tingkat partisipasi pemilih dalam pemilukada. Sementara regulasi yang kuat dapat menjaga integritas penyelenggara serta mengurangi dikabulkanya gugatan sengketa pemilukada baik dalam ruang lingkup pidana, etika, maupun administrasi di kepolisian, Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) maupun Mahkamah Konstitusi (MK). Gambar 1. CLD sederhana : kualitas pemilukada langsung. Gambar 2. CLD detail : kualitas pemilukada langsung Sebagaimana ditunjukan dalam Gambar 2. Causal Loop Diagram (CLD) tentang kualitas pemilukada langsung di atas, menurunnya tingkat pelanggaran pemilu, meningkatnya akurasi DPT, validnya perolehan suara, meningkatnya kualifikasi calon kepala daerah, terjadinya efisiensi penggunaan anggaran serta terciptanya stabilitas politik dan keamanan merupakan variabel output sistem yang sekaligus menjadi indikator peningkatan kualitas penyelenggaraan pemilukada. Namun peningkatan kualitas ini tidak diimbangi dengan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah. Hal ini disebabkan salah satunya karena bakal calon kepala daerah adalah variabel eksternal sistem yang ikut masuk ke dalam sistem penyelengaraan pemilukada langsung dan kualifikasinya sulit diuji dan dipengaruhi sistem yang ada, bahkan lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan dan tekanan politik di tingkat elit lokal, partai politik dan elit di tingkat nasional, di samping itu penyebab lainya adalah praktik korupsi yang terjadi pada pemerintahan daerah sebagai efek domino dari praktik money politic elit dan partai pada saat penyelengaraan pemilukada. Oleh sebab itu selama sistem politik tidak dirubah secara mendasar melalui undang undang, maka variabel kunci yang menjadi leverage kualitas pemilukada langsung seperti kualifikasi kepala daerah terpilih tidak akan sesuai harapan publik dan relevansi pembangunan daerah. 

 C. PENUTUP DAN KESIMPULAN 
 Dari hasil elaborasi singkat di atas berkenaan dengan evaluasi penyelenggaraan pemilukada melalui pendekatan system thinking, wacana untuk mengembalikan pemilukada kepada DPRD tidaklah tepat, karena akan merusak fondasi demokrasi konstitusional yang terbangun, sedangkan konstitusi kita menganut dua konsep kedaulatan yaitu kedaulatan rakyat yang direpresentasikan oleh pemilukada langsung dan kedaulatan hukum yang direpresentasikan oleh putusan Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut teori sistem, menggagalkan sebuah sistem yang ada dari pada memperbaikinya melalui berbagai pengungkit (leverage) adalah pilihan yang tidak rasional, tidak ilmiah dan tidak normatif. Pemilukada melalui DPRD tidak akan berhasil memutus praktik money politic dan praktik korupsi, namun hanya akan mengalihkan spektrumnya menjadi lebih kecil dan mengorbankan pencapaian pencapaian pembangunan non material selama ini yaitu kebebasan kehendak dan memilih, kebijakan publik partisipatif, budaya kontrak sosial antara masyarakat dan pemimpinnya serta praktik demokrasi kontitusional. DAFTAR PUSTAKA Budiman, Arief, 1995; Teori Pembangunan Dunia Ketiga, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Dunn, N. William; 1999; Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Edisi Kedua, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta Gaffar, M. Janedjri, 2012; Demokrasi Konstitusional Praktik Ketatanegaraan Indonesia setelah Perubahan UUD 1945, Konstitusi Press, Jakarta Gaffar, M. Janedjri, 2012; Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta Gaffar, M. Janedjri, 2012; Politik Hukum Pemilu, Konstitusi Press, Jakarta Mahfud, MD. Mohamad, 2012; Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia, Konstitusi Press, Jakarta Mariana, Dede, 2008; Dinamika Demokrasi dan Perpolitikan Lokal di Indonesia, Asosiasi Ilmu Politik Indonesia, Bandung Senge, Peter, 2002; The Fifth Discipline Fieldbook, Interaksara, Batam Sumarno, 2006; Drama Politik Pilkada Depok, Harakatuna Publishing, Bandung Syarwi, Pangi, 2012; Titik Balik Demokrasi Petunjuk bagi Para Pejuang Demokrasi, Pustaka Inteligensia, Jakarta Trilestari, W. Endang, 2008; System Thingking Suatu Pendekatan Pemecahan Permasalahan yang Kompleks dan Dinamis, STIA LAN Bandung Press, Bandung