Kamis, 03 Maret 2011

Demokrasi dan Watak


“Tegakanlah Islam dalam dirimu niscaya ia akan tegak di muka bumi ini...“
( Abu Hasan Ali Al Husaini An Nadwi )

Tema tentang demokrasi adalah tema kemanusiaan, sebagaimana tema agama dan cinta, tema yang selalu melekat pada lapisan sejarah seolah demokrasi, cinta dan agama adalah bagian integral dari suasana struktur psiko sosial sejarah yang biasa kita sebut sebagai dinamika peradaban, masing masing memiliki konteks dan dimensi yang berbeda namun tetap kuasnya selalu menoreh pada lukisan peradaban, agama adalah lambang nilai interaksi vertikal manusia dengan Tuhan, sedangkan cinta dan demokrasi dalam pengertian kontemporer adalah lambang interaksi horizontal, cinta memiliki mekanisme unik dalam interaksinya karena daya dorongnya selalu lahir dari kedalaman hati, sedangkan hati memiliki rahasia tersendiri yang kadang tidak dikenal oleh akal ( Paskal ) dan hati menurut Al Ghazali dalam Ihya Ulummuddin sebagaimana akal adalah unsur latifah ( unsur lembut ) yang Allah tanamkan directly dalam setiap bibit jiwa manusia. Jadi meskipun cinta adalah lambang nilai horizontal namun pada suasana tertentu selalu ada unsur transenden yang sangat pribadi dengan Tuhan, di sinilah kita mengenal kelahiran tasawuf cinta sebagai jalan menuju Tuhan, adalah Rabiah Al Adawiah, Jalaluddin Rumi, Dzun Nun al Mishri diantara contoh hakiki yang menempuh jalan ini dan mendapatkan penyingkapan/kasyaf (Al Ghazali : Metode Menjemput Maut )

Sedangkan demokrasi lahir dari rahim sejarah yang berkontraksi secara horizontal, di titik peradaban kontraksi sejarah selalu melahirkan drama kehidupan yang pilu : kolonialisme, imperialisme, perang dunia I, perang dunia II dan zionisme, semua tragedi pilu ini adalah anasir yang kuat lahirnya komitmen dalam penguatan demokrasi, demokrasi sebagai jalan ketiga setelah gagalnya kekuasaan pemerintahan agama serta petaka kekuasaan feodalisme dan diktatorisme diyakini sebagai sintesa keduanya berupa jalan tengah yang obyektif.

Dalam teori marxisme setiap kemunculan tesis dalam satu titik kutub selalu diikuti dengan anti tesis di kutub yang lainnya, dan diantara dua kutub tersebut selalu muncul sintesis yang mengakomodasi keduanya sebagai jalan tengah, atau merujuk gagasan Pramoedya Ananta Toer tentang ambivalensi bahwa x selalu sebangun dan sama dengan invers x contohnya setiap kehadiran cinta dalam hati kita selalu diikuti secara berurut atau bersamaan dengan rasa benci, senang dengan sedih, siang dengan malam, laki laki dengan perempuan dan seterusnya contoh yang lebih dalam lagi kehadiran agama samawi (monoteisme) merupakan antitesis yang berlawanan dari tesis paganisme (polytheisme) atau contoh lainnya filsafat dan agama dengan akhlak sebagai lambangnya, dialog kreatif diantara keduanya (tesis dan antitesis) menghasilkan sintesis berupa teologi dan teosofi. Teologi mendasarkan kajiannya pada wahyu sedangkan teosofi adalah sintesa pemikiran ( akal ) , wahyu dan akhlak, dari sinilah muncul harapan besar dunia Islam yaitu harakah islamiah sebuah gerakan dan pemikiran produk filsafat, agama dan teologi.

Ketika dialog kreatif antara tesis dan antitesis diantara dua kutub berlawanan terjadi maka terjadilah pula saling interaksi dan tarik menarik secara ulur, dari interaksi tersebut muncullah kontraksi dan di situlah drama sejarahnya setiap kontraksi pada rahim sejarah selalu melahirkan petaka berupa operasi, agitasi massal dan agresi dalam berbagai bentuknya, padahal seharusnya setiap interaksi yang berkontraksi tersebut menghasilkan sinergi sejarah yang indah yang dapat melahirkan kehidupan baru yang menghormati kemanusiaan dan membangun peradaban.

Di sinilah kita menemukan makna dan premis bahwa demokrasi kontemporer adalah realitas objekif yang hadir di perut sejarah sebagai sistesis diantara wajah feodalisme dan diktatorisme dunia dan kemunduran kekuasaan pemerintahan agama, suatu proses hirarkis yang menyudahi antitesis sebelumnya. Tesis, anti tesis dan sintesis adalah suatu proses sejarah yang hirarkis berbentuk piramida menjulang, tesis menyudahi sintesis sebelumnya, antitesis menyudahi tesis dan sintesis menyudahi antitesis, apa yang saat ini menjadi sintesis suatu saat sejarah menjadikannya antitesis dan menghadirkan sintesis yang baru, proses hirarkis ini merupakan siklus sejarah (sunnatullah).

Bila ditelusuri konsep demokrasi memang bersumber dari filsafat peripatetik yaitu filsafat yang di gagas Aristoteles yang mendasarkan pencapaian kebenaran dan pengetahuan pada kebesaran dan kekuatan akal, esensi demokrasi ini terletak pada nilai representasi (keterwakilan) melalui sistem kepartaian, jadi demokrasi semacam instrumen yang mengakomodasi keragaman dialog kreatif suara rakyat sebagai suara Tuhan dan menciptakan produk kedaulatan. Dalam konteks ini terjadi banyak kontraksi diantara warna, identitas, suara, dan watak rakyat, diantara banyak tesis dan antitesis dan yang akan menjadi pemenang pada proses dialog kreatif ini adalah yang mendapatkan representasi atau dominasi secara legal.

Dalam instrumen ini ukuranya bukan benar dan salah karena demokrasi bukanlah sumber kebenaran dan pengetahuan demokrasi hanyalah sekedar wadah yang dibaluti sistem, yang menjadi ukuran melainkan dominasi representasi yang legal, jadi instrumen ini memiliki beberapa dilema.

Dilema yang pertama dalam demokrasi adalah titik acuannya bukanlah kebenaran, melainkan representasi yang legal, sesuatu dianggap benar bila ia representasi dan legal, tak peduli bila ia bertentangan dengan kebenaran agama dan positivisme. Dilema yang kedua terletak pada representasi itu sendiri, apakah representasi telah benar benar representatif ? banyak variabel yang memfaktori bias ini, diantaranya adalah tingkat pendidikan politik rakyat yang rendah yang menetukan tingkat parisipasi politiknya, sistem pemilu sebagai titik puncak demokrasi tidak berorientasi pada representasi nilai, sehingga pemilu berjalan secara transaksional terdapat proses jual beli representasi yang didasarkan pada keuntungan pragmatis, dilema yang ketiga adalah dilema watak, dalam teori rekayasa sosial instrumen yang paling efektif melakukan perubahan tidak hanya sitem tetapi juga difaktori oleh manusia yang mewarnainya dengan watak, perubahan yang efektif hanya bisa dilakukan oleh sistem yang telah diwarnai, dirasuksi oleh watak yang pro nilai dasar dan perubahan, maka produk demokrasi berupa perubahan sosial yang berdaulat legal dan legitimasi memiliki orientasi yang jelas.

Dalam bingkai inilah kita menemukan pandangan bahwa sesungguhnya persoalanya bukan pada eksistensi demokrasi, sumber, halal dan haramnya, karena dialog seperti ini pun adalah berkah dari deviden demokrasi. Kita tak mungkin menghindari demokrasi yang telah menjadi realitas objektif, yang bisa kita lakukan adalah menstransformasi nilai yang kita anut secara compatible ke dalam kaidah demokrasi, dan cara efektif dalam proses transformasi tersebut adalah dengan membangun watak demokrasi ke arah watak yang pro orientasi pro perubahan pro keadilan pro pembangunan pemerataan dan pro nilai dasar, begitulah suatu bangsa dibangun, begitulah angin watak menghembus mencipta mendeterminasi bangun peradaban baru hingga kelak sejarah yang mengamortisasi waktu lambat laut mengalirkan cinta, agama dan demokrasi watak pada telaga waktu akhir kehidupan ini dan menemukan sintesis yang pernah hilang. Wallahu'alam

Tidak ada komentar:

Posting Komentar